Barangkali tak ada kesibukan mulia yang dapat kita
lakukan kecuali mempelajari sejarah (Brama Aji Putra :2012), mengemas ungkapan
tersebut dengan begitu apik, mengisyarakan kepada generasi penerus agar senantiasa
dapat mengambil i’tibar. Dari segala sisi kehidupan tentang sejarah.
Sejarah, pada dasar-nya tercipta setelah kejadian telah
berlalu, dengan kosep yang begitu “Sederhana”
tokoh nasionalis Goerge Santayana,
memperingatkan bahwa mereka yang gagal mengambil
pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulangi pengalaman sejarah baru.
literasi kata bijak : jatuh dilubang yang
sama.
Adalah
Budi Utomo, yang dijadikan gagasakan muculnya peringatan hari kebangkitan
nasional. Sejak 20 Mei tahun 1820 sampai 20 Mei Tahun 2014, bangsa Indonesia
sudah tercatat memperingati selama 106 kali. Kebangkitan Nasional.
106
Tahun silam, dilukiskan keadaan bangsa begitu pelik dengan hadirnya sejuta
problema, mulai dari kelaparan, kemiskinan, tingkat pendidikan, rancunya status
sosial, hukum, politik, hingga penjajahan bangsa asing. (kolonialisme)
Faktual-nya kolonialisme
benar-benar telah menggerus habis kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah hadirnya
gerakan Budi Utomo, yang mula-mula berbasis untuk regional orang jawa. Membawa angin
segar bagi kehidupan generasi bangsa selanjutnya.
Dan
kini, takala Negara Indonesia bebas dari belenggu Kolenialisme, kata “Kesejahteraan” masih jauh api dari panggang,
artinya : masyarakat dan sejuta problema masih terus tersisa dan mengakar pada
setiap element kehidupan
Pengukuran-pengkuran
kesejahteraan, melaui IPM (Indeks Pembangunan Manusia) baru-baru ini menjadi
landasan idil di jaman modern, perlu kita helat lembaran. Gagasan IPM Yang tertuang
3 unsur :Pendidikan, kesehatan dan laju pertumbuhan ekonomi. Menjadi PR besar
bangsa ini yang belum pernah terselesaikan.
Anggaran
Pendidikan 20 % dari APBN dan Anggaran Kesehatan 37 %. Pada tahun 2014 Ternyata
tidak cukup efektif meningkatkan laju pertumbungan ekonomi bangsa Indonesia,
nyatanya Indonesia sampai saat ini belum bisa memenuhi IPM dalam pembangunan
(development) berkelanjutan.
Pernik-pernik
ekuvalen (keseimbangan), dalam menyikapi serta memahami realita sekarang,
perlulah seluruh mayarakat bangsa ini, belajar dari sejarah, agar sekiranya
mampu memaknai ghiroh kebangkitan nasional sebagai bayang-bayang di setiap
momentum kehidupan.
Meskipun,
patut menjadi catatan. Naluriah masyarakat perindu-kondisi sejahtera (social
welfare) tidak pernah ditemui dalam kehidupan masyarakat yang sesungguh-nya.
(Soetomo : 2009)
Historical
Legancy Kebangkitan Nasional Pemuda
Historical
legency-warisan sejarah, merupakan
bahan antik yang harus dicermati secara saksama. Dengan memahami sejarah. Masyarakat secara universal
diharapkan mampu, menjadi produk cermin keberhasilan dan kegagalan bangsa.
Bukan hanya sebatas pada segmen pembelajaran tanpa pengamalan.
Teropong
lain, agar tidak terjadi kepincangan. Dalam sejarah dan kenyataan, haruslah ber-modal
perbaikan secara absolut. Jikalau kita mempu menoleh sejenak, keberadaan bengsa
Indonesia dengan historical legency “Kebangkitan Nasional” (Budi Uotomo), terus
menerus berarah kesinambungan.
Asdiansyah,
Juwenda (1998), menyebutkan bahwa babak kebangkitan nasional, dimulai pada
tahun 1908, ketika Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan kawan-kawan mendirikan
organisasi kepemudaan pertama (Budi Oetomo). Selajut-nya 1928, para pemuda dari
berbagai suku di tanah air bersatu, mendeklarasikan semangat kebersamaan,
persatuan, dan kesatuan; lewat sebuah ikrar bersama bernama Sumpah Pemuda.
Sungguh
fundamental, pergerakan dan pemuda dalam kebangkitan Nasional, hingga ahir-nya
mereka berhasil merebut “Kemerdekaan”. Menciptakan kesejahteraan yang belum bisa
di wujutkan menjadi kenyataan.
Bukan
hanya itu, pada momentum pelengseran paksa, dua
penguasa negri ini (1966 dan 1998), historical legency kebangkitan
nasional, telah berhasil menumbangkan rezim
Orde Lama (ORLA) yang digawi oleh Sokarno dan rezim Orde Baru (ORBA) yang di pelopori ditaktor “Soeharto”. Dengan
apalagi?, kalau bukan dengan alih-alih kesejahteraan.
Namun,
fakta-nya. Perjalanan reformasi yang di-idamkan selalu saja berporos pada satu
kata, yakni : kegagalan, bahakan
lebih parah-nya, peran pemuda mengalami mati suri setelah itu, lebih-lebih
mahasiwa yang terkesan apatis, pragmatis dan opertunis.
Analisa
spekulatif, fenomena tersebut terjadi, karna pemuda cenderung pasif memahami makna historical legency kebangkitan
nasional yang telah ada.
Pemuda
Harapan Masa Depan dan Kejayaan.
Sang
proklamator Soekarno: pernah berujar
“Beri saya seribu orang tua, maka akan aku cabut anak gunung krakatau dan beri
saya sepuluh orang pemuda, maka akan aku goncangkan dunia”. Terkesan, sampai-sampai
menjadi pernyataan terkenal.
Dan
demikianlah, keadaan bangsa saat ini, harus di sikapi oleh pemuda dengan jeli
dan teliti, passal-nya memang pemuda sebagai benteng terhir melawan segala
bentuk kesemelewengan dari pemerintahan.
Pembentukan
pemuda yang baik , sesungguh-nya adalah dengan proses yang baik, bukan instan
yang siap saji. Jika siap saji, sama saja kita mewarisi budaya KKN dan kesalahan
insitusi di berbagai bidang, baik itu hukum, politik atau ekonomi. Padahal sejati-nya
lawan kita bukan lahkawan kita.
Menjadikan
peran pemuda dalam mengapai bayang-bayang, tidak cukup hanya dengan berpangku
tangan, apalagi dengan berdiam diri : Anda
diam bukan berarti anda aman.
Meskipun,
tak dapat di nafikan jika dalam dunia organisasi ke-pemudaan saat ini, terdapat
berbagai kelompok, yang tentu saja orientasinya berbeda-beda, namun alangkah
baik jika berbedaan terhadap kemajemukan dipandang sebagai konsep memahami
persoalan Negara.
Dan
jika memang sudah membentuk cara dan proses yang baik, pergerakan pemuda akan
tersa lebih mudah menjadikan momentum kebangkitan nasioal. Sebagai proses
pembentukan kesejahtreaan. Mengaggulangi lingkaran setan kemiskinan (Vicius
Sircle of Poverty).
Itulah
satu cara, agar mengembalikan pemuda sebagai masa depan dan kejayaan. Semoga.
Oleh Imam Mahmud