Assalamu'alaikum wr wb. Melihat insiden yang
terjadi atas kerusuhan yang terjadi di gedung DPR beberapa hari yang
lalu, sangat miris melihatnya. Sehingga terbesit dalam benak saya yang
awam, sebuat pertanyaan... Apakah betul Islam itu melarang orang
nonmuslim untuk menjadi wakil rakyat bagi muslim? Bagaimana jika mereka
itu ternyata orang baik, dan jujur? Mohon penjelasannya. (Nur Ali Riyanto, jl Pisangan Baru selatan No 21, Matraman-Jakarta Timur)
--
Wa'alaikum salam wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Pertanyaan mengenai apakah boleh atau tidak pengangkatan orang kafir untuk menjadi pemimpin orang muslim, terutama dalam konteks kenegaraan memang seringkali disampaikan.
Dalam pandangan kami apa yang dimaksud dengan pemimpin dalam konteks pertanyaan masih belum jelas. Apakah yang dimaksudkan adalah pemimpim negara seperti presiden? Atau pemimpin yang dimaksudkan adalah menduduki jabatan-jabatan tertentu, seperti menteri, dirjen atau yang sejenisnya, atau anggota DPR.
Jika yang dimaksudkan adalah yang pertama, tentu dalam Negara yang mayoritas muslim tidak bisa diterima.
Pada dasarnya mengangkat pemimpin non muslim tidak diperbolehkan. Sebab dengan mengangkat mereka akan memberikan jalan bagi mereka untuk menguasai kaum muslim. Hal ini jelas akan merugikan kaum muslim itu sendiri.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ الْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً -النساء: 141
“Dan Allah Swt. sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa` [4]: 141).
Larangan tersebut tentu harus diberlakuakan dalam kondisi normal. Sehingga ada sebagai ulama yang membolehkan dalam kondisi darurat, yaitu kondisi dimana ada beberapa hal-hal yang tidak bisa ditangani oleh kaum muslimin sendiri baik langsung maupun tidak langsung, atau terdapat indikasi kuat adanya ketidakberesan (khianat) dari orang muslim itu sendiri.
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam, dan aman berada di kafir dzimmi walaupun karena rasa takutnya kepada penguasa. (Dalam konteks ini) maka boleh menyerahkan jabatan padanya karena adanya keharusan (dlarurah) untuk mewujudkan kemaslahatan sesuatu yang dia diangkat untuk mengurusinya. Meskipun demikian, bagi pihak yang mengangkatnya, harus selalu mengawasi orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari mengganggu terhadap siapapun dari kalangan umat Islam” (Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfah al-Muhtaj, dalam Abdul Hamid asy-Syirwani dan Ibnu Qasim al-‘Abbadi, Hawasyai asy-Syirwani wa al-‘Abbadi, Mesir-at-Tijariyyah al-Kubra, tt, juz, 9, h. 73)
Kebolehan dalam kondisi darurat ini harus dipahami dalam konteks kafir dzimmi. Dan bagi pihak yang mengangkat kafir dzimmi (nonmuslim yang berdamai), yang dalam konteks ini adalah pihak muslim harus selalu memberikan pengawasan yang ketat terhadap kinerjanya. Disamping itu juga harus mencegah atau menghalaginya agar tidak mengganggu kalangan muslim sendiri.
Jadi, pengawasan terhadap kinerja dan jaminan bahwa pihak kafir dzimmi tidak akan mengganggu kalangan muslim dari pihak yang mengangkatnya untuk menangani beberapa hal yang tidak bisa ditangani oleh orang muslim, baik langsung maupun tidak langsung, menjadi sebuah keharusan. Pengawasan menjadi penting agar orang tersebut tetap bekerja dengan baik sesuai aturan yang telah ditetapkan. Sedang perlindungan terhadap kalangan muslim juga tak kalah pentingnya agar ia tidak bisa semena-mena.
Dari penjelasan singkat itu setidaknya dapat dipahami bahwa kebolehan mengangkat orang kafir dzimmi untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu atau memimpinnya dibolehkan sepanjang tidak ada orang muslim yang mampu menanganinya, berlaku adil, dan adanya kemaslahatan. Atau terdapat indikasi yang kuat, kalau diserahkan kepada kalangan muslim sendiri ternyata tidak beres (khianat).
Demikian jawaban singkat yang dapat kami sampaikan, semoga bisa bisa bermanfaat. Dan dalam beberapa urusan yang menyangkuat kaum muslim sepanjang masih ada orang muslim yang dianggap layak dan dapat dipercaya maka wajib diserahkan kepadanya, kecuali memang sudah tidak ada orang muslim yang dianggap mampu, bisa dipercaya dan adil. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, wassalamu’alaikum wr. wb (Mahbub Ma’afi Ramdlan)
--
Wa'alaikum salam wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Pertanyaan mengenai apakah boleh atau tidak pengangkatan orang kafir untuk menjadi pemimpin orang muslim, terutama dalam konteks kenegaraan memang seringkali disampaikan.
Dalam pandangan kami apa yang dimaksud dengan pemimpin dalam konteks pertanyaan masih belum jelas. Apakah yang dimaksudkan adalah pemimpim negara seperti presiden? Atau pemimpin yang dimaksudkan adalah menduduki jabatan-jabatan tertentu, seperti menteri, dirjen atau yang sejenisnya, atau anggota DPR.
Jika yang dimaksudkan adalah yang pertama, tentu dalam Negara yang mayoritas muslim tidak bisa diterima.
Pada dasarnya mengangkat pemimpin non muslim tidak diperbolehkan. Sebab dengan mengangkat mereka akan memberikan jalan bagi mereka untuk menguasai kaum muslim. Hal ini jelas akan merugikan kaum muslim itu sendiri.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ الْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً -النساء: 141
“Dan Allah Swt. sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa` [4]: 141).
Larangan tersebut tentu harus diberlakuakan dalam kondisi normal. Sehingga ada sebagai ulama yang membolehkan dalam kondisi darurat, yaitu kondisi dimana ada beberapa hal-hal yang tidak bisa ditangani oleh kaum muslimin sendiri baik langsung maupun tidak langsung, atau terdapat indikasi kuat adanya ketidakberesan (khianat) dari orang muslim itu sendiri.
نَعَمْ
إِنِ اقْتَضَتْ الْمَصْلَحَةُ تَوْلِيَّتَهُ فِيْ شَيْءٍ لاَ يَقُوْمُ
بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ ظَهَرَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
خِيَانَةٌ وَأَمِنَتْ فِيْ ذِمِّيٍّ وَلَوْ لِخَوْفِهِ
مِنْ الْحَاكِمِ
مَثَلًا فَلاَ يَبْعُدُ جَوَازُ تَوْلِيَّتِهِ لِضَرُوْرَةِ الْقِيَامِ
بِمَصْلَحَةِ مَا وَلِّيَ فِيْهِ، وَمَعَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَى مَنْ
يَنْصِبُهُ مُرَاقَبَتُهُ وَمَنْعُهُ مِنَ التَّعَرُّضِ لِأَحَدٍ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam, dan aman berada di kafir dzimmi walaupun karena rasa takutnya kepada penguasa. (Dalam konteks ini) maka boleh menyerahkan jabatan padanya karena adanya keharusan (dlarurah) untuk mewujudkan kemaslahatan sesuatu yang dia diangkat untuk mengurusinya. Meskipun demikian, bagi pihak yang mengangkatnya, harus selalu mengawasi orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari mengganggu terhadap siapapun dari kalangan umat Islam” (Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfah al-Muhtaj, dalam Abdul Hamid asy-Syirwani dan Ibnu Qasim al-‘Abbadi, Hawasyai asy-Syirwani wa al-‘Abbadi, Mesir-at-Tijariyyah al-Kubra, tt, juz, 9, h. 73)
Kebolehan dalam kondisi darurat ini harus dipahami dalam konteks kafir dzimmi. Dan bagi pihak yang mengangkat kafir dzimmi (nonmuslim yang berdamai), yang dalam konteks ini adalah pihak muslim harus selalu memberikan pengawasan yang ketat terhadap kinerjanya. Disamping itu juga harus mencegah atau menghalaginya agar tidak mengganggu kalangan muslim sendiri.
Jadi, pengawasan terhadap kinerja dan jaminan bahwa pihak kafir dzimmi tidak akan mengganggu kalangan muslim dari pihak yang mengangkatnya untuk menangani beberapa hal yang tidak bisa ditangani oleh orang muslim, baik langsung maupun tidak langsung, menjadi sebuah keharusan. Pengawasan menjadi penting agar orang tersebut tetap bekerja dengan baik sesuai aturan yang telah ditetapkan. Sedang perlindungan terhadap kalangan muslim juga tak kalah pentingnya agar ia tidak bisa semena-mena.
Dari penjelasan singkat itu setidaknya dapat dipahami bahwa kebolehan mengangkat orang kafir dzimmi untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu atau memimpinnya dibolehkan sepanjang tidak ada orang muslim yang mampu menanganinya, berlaku adil, dan adanya kemaslahatan. Atau terdapat indikasi yang kuat, kalau diserahkan kepada kalangan muslim sendiri ternyata tidak beres (khianat).
Demikian jawaban singkat yang dapat kami sampaikan, semoga bisa bisa bermanfaat. Dan dalam beberapa urusan yang menyangkuat kaum muslim sepanjang masih ada orang muslim yang dianggap layak dan dapat dipercaya maka wajib diserahkan kepadanya, kecuali memang sudah tidak ada orang muslim yang dianggap mampu, bisa dipercaya dan adil. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, wassalamu’alaikum wr. wb (Mahbub Ma’afi Ramdlan)