Mudik adalah Jati Diri Manusia - KMNU-UNILA.Org : Menebar Dakwah Ahlussunnah Waljama'ah Annahdliyah

Saturday, March 29, 2025

Mudik adalah Jati Diri Manusia



 Saudaraku,

Di akhir bulan Ramadhan ini kita menyaksikan suatu budaya tahunan masyarakat khususnya Indonesia yang dinamakan dengan istilah “mudik”.

mudik menjadi sebuah penanda akan datangnya hari raya, mudik merupakan penanda bahwa setiap keluarga akan kembali kepada keluarga asalnya dengan membawa sejumlah celengan rindu, membawa sebuah kebahagiaan dan rasa syukur atas perjuangannya di kota kota besar untuk dipersembahkan kepada orang tuanya serta sanak saudaranya yang berada di kampung halaman.


Saudaraku yang dirahmati oleh Allah swt.

Mudik pada hakikatnya mengajarkan kepada kita sebuah kesadaran bahwa sejauh apapun kita pergi pasti kita akan kembali ke titik semula. Seberapa lama kita pergi pasti kita akan rindu akan suasana kampung halaman dan masa kecil kita. Kesadaran inilah yang semestinya melembaga di dalam setiap lubuk hati manusia bahwa kita sebagai manusia, diberikan kehidupan di dunia ini nantinya pasti akan kembali kepada sang pencipta.

Dalam istilah Maqolatul Jawi disebutkan bahwa “Sangkan Paraning Dumadi”, yang bermakna bahwa setiap diri manusia tidak patut untuk melupakan dari mana ia berasal. Keyakinan ini menjadi sebuah pengingat bahwa kita pun pada saatnya nanti akan kembali kepada Sang Pencipta, Tuhan Sekalian Alam, Allah swt.


Saudraku,

Inilah yang Allah swt tegaskan dalam al-qur’an,

إِنَّا لِلّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ

“Kita adalah milik Allah, dan hanya kepada Allah kita akan kembali”


Walhasil, budaya mudik mengajarkan kepada kita bahwa setiap manusia harus menyadari bahwa ia berasal dari mana, hendak pergi kemana dan akan kembali kemana. Seberapa jauh pun kita melangkah, seberapa cepatpun kita pergi, akan tetap kembali kepada Allah swt, Sang Pencipta Alam Semesta.


Saudaraku,

Mudik juga mengungatkan kita pada suatu istilah yaitu “Hidup bagaikan Lingkaran Tasbih”, Dimana kita bertasbih dimulai dari satu titik yaitu kepala tasbih dan akan kembali ke titik semula. Kenikmatan bertasbih bergantung pada kekhusyukan kita dalam berdzikir kepada Allah swt. Nha dalam kehidupan ini, kenikmatan berdzikir itu diibaratkan sebagai kebermanfaatan kita hidup di dunia ini, semakin manfaat, semakin luas menebar manfaat, semakin besar memberikan pengaruh positif dalam kehidupan ini, maka di situlah letak kenikmatan dalam hidup.

Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Yang paling baik di antara manusia adalah ia yang paling banyak menebar kebermanfaatan bagi manusia”


Saudarku,

Dari dua istilah yang sudah dijelaskan di atas, hal tersebut memberikan sebuah benang merah bahwa kehidupan kita di dunia ini memiliki 2 peran, yaitu “Ubudiyah dan Khalifah”.

Peran pertama kita menyadari bahwa hidup pada hakikatnya adalah untuk beribadah kepada Allah swt dan peran kedua adalah penebar manfaat di muka bumi ini dengan menjadi Khalifah Allah di muka bumi.


Semoga dengan adanya budaya mudik ini, dapat memberikan tambahan kesadaran kepada kita bahwa kita memiliki misi dan peran dalam berkehidupan di dunia yang fana dan sementara ini. Aamiiin…


Lampung, 29 Ramadhan 1446 H,

Ditulis di pagi hari dengan suasana kampung halaman yang syahdu.

Oleh : Tito Gustowo, Pegiat Dakwah Lembaga Dakwah PWNU Lampung

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda