SEDIRIKU MENJADI BERKAH(Jomblo Mulia) - KMNU-UNILA.Org : Menebar Dakwah Ahlussunnah Waljama'ah Annahdliyah

Wednesday, January 18, 2017

SEDIRIKU MENJADI BERKAH(Jomblo Mulia)





Pagi ini aku berjalan keluar dengan langkah gontai. Sementara menghabiskan sarapanku, tertera nama Kak Kian membuat panggilan telepon di layar ponselku.
“Halo,” sapaku.
“Halo. Mona. Ayuk berangkat bareng,” ajaknya. Biasanya di jam-jam ini ia menghubungiku lewat BBM untuk berangkat ke kampus bersama. Namun setelah masalah berat yang menimpa hubunganku dengan Rion, aku enggan menggunakan BBM untuk sementara waktu. Ia tahu aku dan Rion sudah bertunangan sejak aku masih semester 3 dan Rion semester 7. Baru-baru ini mantan pacar Rion yang tak suka denganku meluncurkan fitnah atas diriku sehingga membuat Rion gelap mata dan menjauhiku. Tak hanya sampai di situ, Rion juga tak mau menerima penjelasanku dengan cara apapun.
Aku berhenti menggunakan BBM di mana aku dan Rion sering bercengkrama di luar pertemuan. Kini, bagiku Rion sudah tak ada artinya lagi setelah habis dipengaruhi oleh mantan pacarnya. Kupikir lelaki seperti dia tak mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Dan bagiku tak layak juga mempertahakan lelaki lemah seperti dia. Setelah hubungan kami yang berjalan mulus selama 3 tahun dihitung sejak kami belum bertunangan, aku sama sekali tak menyesal melepas cincin yang melingkar di jari manisku.
Kak Kian satu-satunya orang yang paham akan keadaanku. Tak seperti teman-temanku kebanyakan yang sangat meyayangkan berakhirnya hubunganku dengan keturunan pengusaha kaya, pemilk wajah rupawan dan tubuh atletis. Ia justru mensupportku untuk menjalani kuliahku dengan benar, tidak memikirkan terlalu larut permasalahan yang tak biasa ini. Aku sendiri baru mengenalnya beberapa bulan lalu namun kedekatan yang terjalin antara kami sudah seperti bersahabat sejak kecil.
“Iya. Tunggu,” jawabku.
“Aku ke rumahmu 5 menit lagi,” ujarnya sembari menutup telepon.
Tidak biasanya Kak Kian menutup telepon tidak sopan begitu. Biasanya ia malah sengaja berlama-lama ngobrol di telepon, membicarakan hal yang tidak penting. Kupikir ia sedang terburu-buru. Yah. Semoga saja ia tak terjebak kereta yang melintas ketika menuju rumahku karena hal itu akan memakan waktu sekitar 5 menit.
Suara klakson motor Kak Kian menggema di pagar rumahku. Tepat sekali dengan sesuap nasi terakhir yang baru saja kutelan. Aku bergegas naik ke motor begitu melihatnya bermain ponsel di depan pagar.
“Yuk, jalan,” ucapku seperti biasa memberi komando setelah siap.
“Mana helm kamu?” tanyanya dengan kening berkerut.
“Loh memangnya mau ke mana?” aku balik bertanya karena jarak rumahku dengan kampus yang bisa ditempuh lewat jalan belakang biasanya aku tak perlu memakai helm.
“Adek. . . Kamu harus pakai helm. Soalnya kita nggak ke kampus,” ujarnya.
“Terus kita mau ke mana?”
“Ambil aja helm kamu nanti kita pergi. Kamu nggak akan nyesel kok,” sahutnya.
“Ih bolos nih ceritanya?” tanyaku terkesan polos sebagai mahasiswa semester 5.
Tanpa menunggu jawabannya, aku yang sebetulnya tak suka dengan mata kuliah hari ini segera mengambil helm di ruang tengah.
Memang tak menyesal. Sungguh tak menyesal dengan kelakuan Kak Kian membawaku mengunjungi panti asuhan. Awalnya kupikir ia hanya akan membawaku mengunjungi bukit atau tempat-tempat dengan ketinggian untuk memuaskan hobinya sebagai seorang fotografer majalah kampus. Kali ini lain dari biasanya.
Yang tak kusangka dari seorang lelaki jangkung yang kujadikan kakak sejak awal perjumpaanku dengannya ini disapa hampir seluruh penghuni panti dan disalami dengan ramah. Kupikir kakakku ini sudah sering menyumbang ke panti ini sehingga wajar jika mereka mengenalnya dengan baik.
“Seberapa sering Kakak kemari?” tanyaku di sela-sela berjalan ke sekeliling panti.
Ia memanyunkan bibirnya sejenak sembari mengira-ngira seberapa sering ia menunjungi tempat mulia ini. “Sering. Bisa seminggu 3 kali, Dek,” jawabnya. “Kamu nggak nyesel kan aku bawa ke sini?”
“Enggak kok, Kak. Aku senang bisa berbaur dengan mereka. Kapan Kakak kesininya? Kenapa baru ngajak aku?”
“Emmm. Oh itu, hehe,” gumamnya sambil cengengesan. “Aku cuma mampir lewat aja kok kalo habis latihan bola.”
Wah. Kurasa kakakku ini selain banyakk uang juga dermawan. Rupanya juga  ia tipe laki-laki yang sudah sulit ditemui di era ini. namun ketika kupuji kebaikannya ia menyangkal, “Siapa bilang aku ini banyak uang? Mengunjungi panti asuhan nggak selamanya nyumbang, Adekku. Berbagi cerita dengan mereka, berbagi permen dan biskuit, main bareng juga nggak masalah,” tukasnya singkat.
Demi mendengar penuturannya barusan hatiku terbuka. Betapa selama ini aku tak pernah sekalipun berbagi dengan anak-anak seusia mereka. Yang kutahu hanyalah berbagi perasaan dengan teman curhatku atau dengan pengguna BBM lainnya. Dan hal itu sama sekali tak membawa manfaat bagiku. Tak seperti Kak Kian yang tak pernah merasa sedih atau menampakkan kesedihan karena kesedihan yang melandanya terhapus dengan sendirinya setelah bercengkerama dan bermain dengan anak-anak panti. Sebuah pelajaran amat berharga yang kudapat dai mengorbankan 2 jam waktu kuliahku. Tanpa membolos seperti kali ini mungkin aku tak akan merasakan sentuhan cinta setelah putus dengan Rion. Di sini aku menemukan cinta. Cinta antar sesama manusia yang tak pernah kuberikan sebelumnya.
“Kak,” tegurku sesaat sebelum meninggalkan tempat yang penuh kasih sayang ini.
Ia menengok ke arahku. Melihat senyumku begitu sumringah, ia ikut tersenyum. Aku tak perlu menunggu pertanyaannya. Segera saja aku memintanya mengajakku setiap ke sini. Dan ia mengiyakannya meski harus menungguku dandan terlebih dahulu atau menunda sedikit waktunya.
“Boleh saja,” jawabnya. “Asal dengan satu syarat,” pintanya membuatku agak berkecil hati. Namun sejurus kemudian ia kembali membuatku berbinar dan mengucap syukur sedalam-dalamnya, “Syaratnya. . . Adekku si Mona ini nggak boleh mengharapkan apapun dari kebaikan yang ia lakukan. Setuju?” bidiknya sembari mengajukan kelingking kanannya untuk kujabat dengan kelungkingku.
Kelingking kami saling menggamit dalam janji kelinci seperti yang dilakukan kebanyakan anak kecil dalam mengucap janji persahabatan mereka.
Kurasa sudah satu semester kulewati dengan ceria setelah seringkali berkunjung ke panti asuhan. Keadaan psikologisku jauh lebih baik ketimbang saat-saat sebelum melupakan total problemaku dengan Rion. Kini aku tahu rasanya hidup tanpa kasih sayang orang tua, makan dengan menu seadanya, hidup dengan fasilitas yang juga seadanya. Tapi aku bahagia menjadi bagian dari mereka. Seperti yang Kak Kian katakan, berbagi permen, berbagi biskuit, berbagi mimpi pun tak jadi masalah ketika yang kita bagi bermanfaat bagi orang lain.
Aku pun mengerti di kemudian hari setelah sekitar setahun tak berpacaran dan melakukan sedikit demi sedikit kebaikan yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Rion, seorang pemuda tampan yang dulu mengisi hatiku kini hilang sudah semua bayangnya tanpa sisa. Ia yang kupikir dulu akan menjadi imamku, menuntunku menjadi pribadi yang lebih baik justru sama sekali tak ada perubahan dalam hidupku selama aku mengenalnya. Lain halnya dengan Kak Kian, seorang pemuda biasa saja yang baru kukeenal beberapa bulan lalu selalu memberiku pelajaran berharga dari setiap peristiwa yang kami lalui. Kurasa, aku tak akan rela kehilangan Kak Kian seperti aku kehilangan Rion. Kehilangan Rion mudah bagiku namun kehilangan Kak Kian tak terbayang akan seperti apa jadinya. Seorang guru terbaik yang terpaut usia tak begitu jauh dariku telah mengajarkanku banyak hal dari sebuah kesederhanaan.
Kini aku semakin pandai menabung. Awalnya uang yang kutabung hanya ingin kugunakan untuk membelikan jajanan bagi anak-anak panti asuhan. Namun orangtuaku yang mendukung penuh akan kebiasaanku memberikan sejumlah investasi untuk ikut mencerdaskan mereka. Kini aku penuh dengan ucapan syukur setiap harinya. Kubelikan buku-buku sesuai usia mereka. Kubimbing mereka di waktu luang untuk belajar berkreasi dengan sampah-sampah kertas dan plastik daur ulang. Melihat mereka tumbuh dan berkembang menjadikan kebahagiaanku berlipat ganda. Aku merasakan kehangatan yang terpancar dari hubuganku dengan para bintang kecil itu.
“Mereka sudah menganggapmu seperti ibu mereka sendiri, Mona,” ucap Kak Kian suatu hari. Aku mengiyakan dalam hati karena mereka juga sudah kuanggap seperti anak sendiri meski gadis seusiaku belum pantas memiliki anak.
“Kakak juga,” sahutku singkat. “Kakak yang lebih dulu menjadi orang tua mereka. Makasih ya, sudah mengajakku dalam kebaikan, aku nggak pernah menyesalkan kejadian waktu kita membolos di hari itu,” ujarku mengenang.
Tiba-tiba entah dari mana ceritanya muncul seorang anak dari belakang kami berdua dan mendehem, “Kakak Kian dan Kakak Mona pasangan yang serasi. Febri sayang Kak Kian dan Kak Mona.” Kemudian bocah umuran 10 tahun itu melebarkan tangannya meminta dipeluk. Kami pun memeluknya seperti anak sendiri.
Entah mengapa baru kali ini ada perasaan berbeda saat tak sengaja tanganku dan tangan Kak Kian bersentuhan. Selama kami jalan berdua, tak pernah sekalipun kami bersentuhan meski selalu saja berboncengan dengan motor yang sama. Tatapan mata Kak Kian yang berbeda juga baru kurasakan kali ini. aku tak tahu apa yang berbeda itu dan aku tak mau mengungkitnya.
Tak ada yang salah dengan keputusanku memilih menjalani hidup tanpa pacaran karena sejak aku tak menjalin hubungan fana itu, kehidupanku menjadi lebih baik dari sebelumnya.


TIPS MENJADI JOMBLO MULIA

Sebagai seorang single ladies yang sedang mencari jati diri, saya punya beberapa tips agar para jomblowan-jomblowati tidak merasa kesepian setelah berpisah dengan sang pacar.
1.      Niatkan diri untuk menjomblo semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah swt.
2.      Yakinlah bahwa Allah sudah mematenkan jodohmu jauh-jauh hari sebelum kamu dilahirkan.
3.      Hilangkan bayang-bayang mantan kamu dengan berusaha menyibukkan diri. Tambah waktu belajarmu, tambah kegiatan ekskul dan organisasimu, dan biarkan imajinasimu berkembang.
4.      Pahami bahwa status pacaran bukanlah hal yang mulia di mata Allah, justru pacaran adalah biangnya dosa.
5.      Jangan hiraukan pemandangan di sekelilingmu yang disana-sini banyak pemuda sedang berpacaran.
6.      Memantaskan diri. Ingat bahwa orang baik akan berjodoh dengan oang baik, begitupun sebaliknya.
7.      Siapkan mental melepas status jomblomu dengan pilihan terbaikmu. Jangan terlalu nyaman dengan kesendirian karena ada saatnya hukum menikah menjadi wajib.
Siapkan dirimu menuju pacaran yang diridhoi Allah. Yaitu pacaran setelah menikah.(Molimolart)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda