“Titip aspirasi kepada
orang lain saja bisa, kenapa kita harus membuat wadah sendiri untuk menyalurkan
aspirasi politik,” katanya setelah Nahdlatul Ulama dalam muktamarnya yang
ke-27, 1984, memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU meninggalkan
politik praktis. Namun pada Rabu, 20 Oktober 1999, cucu KH. Hasyim Asy’ari
pendiri NU itu, terpilih menjadi presiden. Artinya, ia kembali ke kancah
politik praktis.
Abdurrahman Wahid lahir
di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 4 Agustus 1940. Beliau lahir pada hari ke-4 dan bulan
ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir 4
Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah
kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September
1940. Ibunya, yaitu Nyai Solichah dalam tahun-tahun pertama perkawinannya bisa
membaca huruf Arab, tetapi tidak bisa membaca huruf latin. Pada akhirnya,
pejabat catatan sipil setempat di masyarakat pedesaannya mencatat tanggal 4
Agustus sebagai tanggal lahir Gus Dur.
Abdurrahman Wahid adalah
anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Sebagaimana
kebanyakan dalam tradisi Muslim abangan di Jawa, yang sering menggunakan nama
ayah setelah namanya sendiri. Sesuai dengan kebiasaan Arab sendiri, ia adalah
Abdurrahman putra Wahid, sebagaimana ayahnya sendiri Wahid putra Hasyim. Namun
demikian, sebagaimana kebiasaan orang Jawa, nama tersebut akhirnya mengalami
perkembangan dan berbbeda denagn nama resminya.
Kehadiran anak bernama
Abdurrahman Wahid ini sangat membahagiakan kedua orangtuanya, karena ia adalah
anak laki-laki dan anak pertama. Ia dipenuhi oleh optimisme seorang ayah. Ini
bisa terlihat dari pemberian nama Abdurrahman Ad Dakhil, terutama kata Ad
Dakhil jelas merujuk dari nama pahlawan dari Dinasti Umayyah, yang secara
harfiah berarti “Sang Penakluk”. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah
peradaban Islam, tokoh Ad Dakhil adalah tokoh yang membawa Islam ke Spanyol dan
mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad.
Menurut sanak saudara Gus
Dur yang lebih tua, Gus Dur adalah anak yang tumbuh subur dan tidak bisa
ditekan. Dengan kata lain, masa kecilnya nakal. Salah satu bukti kenakalannya
adalah ketika ia belum berusia genap dua belas tahun, ia telah dua kali
mengalami patah lengan akibat kegemarannya memanjat pohon apa saja.
Pertama-tama lengannya patah karena dahan yang diinjaknya patah. Kemudian, ia
hampir kehilangan tangannya.
Dalam beberapa kasus,
anak-anak yang masa kecilnya nakal kebanyakan di masa dewasanya menunjukkan
kecerdasan dan ketokohan, dan kenakalannya kemudian menghilang. Dan kebanyakan orang Jawa lebih menyukai masa
kecil anak itu nakal ketimbang masa kecilnya pendiam kemudian masa dewasanya
yang nakal.
Proses belajar atau masa
pendidikan Gus Dur di masa sekolah dasar dan lanjutan pertamanya adalah di
sekolah-sekolah sekuler. Inilah yang membedakan dirinya degan kakek dan ayahnya
yang tidak pernah mencicipi pendidikan sekuler, dan Gus Dur merupakan penanda
generasi santri yang menerima pendidikan modern sejak awal.
Namun begitu, sebenarnya
Gus Dur mengalami pendidikan santri atau pesantren dan religiusitas dari kedua
orangtuanya. Ia belajar bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup
pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur’an dengan suara keras.
Pada masa kecil Gus Dur
sudah berkenalan dengan dunia seni, baik dunia seni yang berada di pesantren,
seperti barjanji, diba’, maupun hadrah. Ia juga berkenalan dengan musik Barat,
yaitu musik klasik, terutama karya Beethoven, dari seorang teman bapaknya,
Williem Iskandar Bueller. Gus Dur dengan dunia seninya yang sejak kecil sudah
mengenal berbagai jenis musik baik dari pesantren, maupun dari musik barat yang
klasik, tentunya memengaruhi bagaimana di kemudian hari Gus Dur menampilkan
sosok dirinya yang pluralis.
Sebagaimana kakeknya
Syekh Hasyim Asy’ari dan ayahnya Wahid Hasyim, yang selalu haus akan ilmu
pengetahuan dan selalu merasa kurang dalam belajar ilmu pengetahuan, Gus Dur
pun demikian. Untuk itu, ia melanjutkan studinya ke luar negeri, yaitu Kairo,
Baghdad, dan kemudian Eropa. Ia menetapkan diri akan belajar dari kehidupan dan
pengalamannya di Eropa. Dengan tinggal di Eropa, ia mempunyai kesempatan untuk
mempelajari dari tangan pertama sifat masyarakat di Belanda, Jerman, dan
Prancis. Ia juga berkesempatan untuk melakukan percakapan dan diskusi mengenai
masyarakat dan pemikiran Barat di Eropa.
Harus diakui,
kegagalannya untuk studi ke Eropa membuatnya dilanda kecewa. Untuk menghibur
dirinya, ia pulang ke Jawa pada 4 Mei 1971, kemudian menata harapannya lagi
agar bisa menuntut ilmu ke luar negeri. Namun, hal itu urung terjadi. Pada
September 1971, Gus Dur dan Nuriyah melangsungkan pesta perkawinan dan kemudian
tinggal di Jombang. Selanjutnya, Gus Dur berkeliling Jawa. Saat ia berkeliling
mengunjungi pesantren di Jawa, beliau merasa terkejut melihat besarnya serangan
terhadap sistem nilai tradisional pesantren. Disinilah ia mengurungkan niatnya
studi ke luar negeri.
Masa perjuangan Gus Dur
sebenarnya telah dimulai jauh sebelum ia menjadi ketua PBNU. Kesadaran atas
organisasi pergerakan sudah dimulai Gus Dur ketika ia menjadi salah satu tokoh
organisasi kemahasiswaan Indonesia yang berada di Mesir dan Baghdad. Pada masa
inilah ia memerhatikan konteks gerakan nasionalisme, islamisme, dan konteks
gerakan Islam radikal berkaitan dengan kapitalisme global.
Ketika pulang ke
Indonesia, ia menerapkan semua ilmu yang diperolehnya. Apa yang diperjuangkan
Gus Dur tidak lain adalah perjuangan kemanusiaan, yang terbungkus dalam
demokrasi, pluralisme, dan mempertahankan nasionalisme.
Salah satu aspek yang
paling bisa dipahami dari Abdurrahman adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme
dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya Cina Indonesia, juga
penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan pada masa
pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan akhir ini. Dengan kata lain,
Abbdurrahman dipahami sebagai muslim non-chauvinis, sebagai figur yang
memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Yang
secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa Abdurrahman itu orang yang bangga sebagai
seorang muslim. Dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga
pesan utama Islam sendiri. Lebih dari itu, Abdurrahman adalah seorang tokoh
spiritual, figur mistik yang dalam pandangannya dunia spiritual nyata seperti
dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.
Gus Dur adalah sosok
pejuang sejati, militan, pintar, dan penuh strategi. Pola perjuangan Gus Dur
tidaklah monoton, andaikan ia pemain bola, ia bisa bermain cantik, mengatur
fisik saat menyerang, saat bertahan untuk memperoleh kemenangan, dan selalu
diselingi dengan tarian-tariannya sehingga penonton akan berdecak kagum,
terhibur, dan menyatakan salut atas permainannya.
Tidak heran jika
kematiannya menjadikan haru birunya rakyat Indonesia. Bukan hanya NU dan PKB
saja yang memiliki Gus Dur, namun pemuka-pemuka agama Katolik dan Kristen juga
merasakan hal itu. Kalau bukan seorang pejuang yang dekat dengan semua
kalangan, tidak mungkin kepergiannya menjadikan kita merasa kehilangan,
meneteskan air mata, walau mungkin kita bukan keluarganya, bukan NU, bukan juga
PKB.
Gus Dur menderita banyak
penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita
gangguan penglihatan sehingga sering surat dan buku yang harus dibaca atau
ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Selain beberapa
kali ia mengalami serangan stroke, ia juga mengalami penyakit diabetes dan
gangguan ginjal.
Gus Dur wafat pada hari
Rabu, 30 Desember 2009, di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pukul 18.45 WIB
akibat komplikasi penyakit yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus
menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid, adiknya, Gus
Dur wafat akibat sumbatan pada arteri. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta
ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.