Tradisi Takbiran Keliling. Bid’ah! Tidak Ada di Zaman Nabi
Hari Raya Idul Fitri tentu saja menjadi hari yang ditunggu-tunggu umat muslim. Pada hari itu, seluruh umat muslim di dunia merayakan hari kemenangan—bagi orang-orang yang berhasil memenangkan diri atas hawa nafsunya selama satu bulan penuh—yang memiliki segudang kemeriahan.
Ada satu hal yang paling ditunggu ketika hari Idul Fitri. Selain THR dari sanak saudara, takbiran menjadi hal yang paling ditunggu. Berbagai hiasan lampu, obor, sampai pawai turut menyemarakkan malam takbiran. Gemuruh suara takbir, tahlil, dan tahmid terus bergema semalam suntuk seolah tak ada rasa lelah.
Setiap daerah memiliki kebiasaan yang berbeda ketika merayakan malam takbiran. Salah satunya adalah tradisi Festival Takbiran yang setiap tahunnya dilaksanakan di kampungku. Masyarakat berlomba-lomba membuat icon-icon yang unik dan meriah. Mulai dari masjid, bedug, sampai berbagai kendaraan yang dihias dengan pernak pernik yang meriah. Festival ini tentu menjadi acara yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya, tak ayal antusiasme masyarakat dalam acara ini sangat tinggi.
Takbiran tidak ada dizaman Nabi, berarti itu Bid’ah.
Para ulama sepakat, bahwa pengertian bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak ada pada zaman nabi. Maka pada zaman sekarang sudah timbul jutaan bid'ah. Pada zaman Nabi tidak ada bis, maka bid'ah hukumnya jika kita mudik menggunakan bis. Kita harus mudik dengan naik unta, sesuai yang dilakukan Nabi.
Apakah pengertian bid’ah se-sempit itu? Tentu tidak. Beberapa ulama menyatakan bahwa bid'ah dibagi menjadi dua, yaitu bid’ah dholalah dan bid'ah hasanah. Bahkan Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, ulama madzhab Syafi’i abad 7 H kemudian membuat rincian lebih detail perihal bid‘ah beserta contohnya seperti keterangan sebagai berikut.
“Bid‘ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW. Bid‘ah itu sendiri terbagi atas bid‘ah wajib, bid‘ah haram, bid‘ah sunah, bid‘ah makruh, dan bid‘ah mubah. Metode untuk mengategorisasinya adalah dengan cara menghadapkan perbuatan bid‘ah yang hendak diidentifikasi pada kaidah hukum syariah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kewajiban, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah wajib. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut keharaman, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah haram. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kesunahan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah sunah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kemakruhan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah makruh. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kebolehan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah mubah. Bid‘ah wajib memiliki sejumlah contoh,” (Lihat Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 2010, Juz II, Halaman 133-134).
Contoh bid‘ah wajib antara lain mempelajari ilmu nahwu (gramatika Arab) sebagai perangkat untuk memahami Al-Quran dan Hadits, mendokumentasikan kata-kata asing dalam Al-Quran dan Hadits, pembukuan Al-Quran dan Hadits, penulisan ilmu Ushul Fiqh. Sementara contoh bid‘ah haram adalah hadirnya madzah Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, atau Mujassimah. Contoh yang dianjurkan adalah sembahyang tarawih berjamaah, membangun jembatan, membangun sekolah. Contoh bid’ah makruh adalah menghias mushhaf dengan emas. Sedangkan contoh bid’ah mubah adalah jabat tangan usai sembahyang subuh dan ashar, mengupayakan sandang, pangan, dan papan yang layak dan bagus. Contoh bid‘ah di Indonesia antara lain peringatan tahlil berikut hitungan hari-harinya, peringatan Isra dan Miraj dan lain sebagainya yang kesemuanya bahkan dianjurkan oleh agama. Contoh-contoh ini dapat dikembangkan sesuai tuntutan kaidah hukumnya seperti diterangkan Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam.
Jadi apakah jika mengurut pada pengertian bid;ah secara umum, tentu banyak sekali bid’ah yang sudah kita lakukan di zaman ini. Jadi sudah sampai mana persiapan kalian untuk menyambut hari kemenangan?
Wallahu A’lam bishowab.
(I. Fisabilhaq)