Dikegelapan malam kala itu aku termenung
memikirkan impian yang sejak lama sudah aku perjuangkan. Bingung akan kemana
impian ini hendak kubawa. Memilih untuk mengubur impian itu dalam-dalam atau
terus memperjuangkan dengan segala keterbatasan.
Namaku Wiwi Pratiwi. Aku tidak seberapa paham arti dari namaku.
Banyak orang bilang kepadaku bahwa aku adalah orang jawa barat (suku sunda). Terlihat
dari namaku yang cenderung berulang-ulang. Sudah Wiwi, ditambah Pratiwi lagi. Aku anak
pertama dari tiga bersaudara. Adiku yang pertama bernama Sulis Fitria
lahir tahun 2003 dan adiku yang ke dua bernama Restu Septiyan lahir
tahun 2011. Bapaku bekerja sebagai petani penggarap sawah milik orang lain dan ibuku tidak
bekerja. Aku sangat sayang kepada bapak dan ibu. bapak orangnya cerdas, disiplin dan dia selalu berpesan agar aku tidak meninggalkan sholat 5 waktu serta giat dalam belajar. Begitu pun ibu, orang terhebat di dunia, selalu tegar, semangat dan sangat menyayangi
aku.
Kala itu senja mulai hilang tergantikan oleh
malam. Aku, bapak dan ibu berkumpul diruangan kecil yang menyatu dengan dapur
untuk berbincang mengenai kuliahku. Bapak tidak mengizinkanku untuk melanjutkan
kuliah karena biaya kuliah yang tidak sedikit “Anakku, bapak bukan tidak
mendukung impianmu, hanya saja untuk menggapai impianmu membutuhkan biaya yang
cukup banyak. Semua orang memang berhak punya mimpi. hanya saja jalan setiap
orang itu berbeda-beda. Keluarga kita butuh biaya untuk makan sehari-hari,
belum lagi hutang bapak yang setiap tahun kian meningkat karena bapak belum
bisa melunasi“ ucap bapaku. “Lebih baik kamu bekerja saja nak, bantu bapakmu
mencari uang untuk menyekolahkan adik-adikmu. Ibu juga sebenarnya lelah bekerja
ditempat orang tetapi tidak pernah digaji hanya karena ingin balas budi atas
hutang-hutang kita “ tambah ibuku.
Malam semakin larut dan udara pun mulai
terasa dingin. Sedingin perasaanku menerima nasehat dari ayah dan ibuku. Iya, Itulah
pesan mereka untukku. Mau tidak mau aku harus memikirkan ulang perihal
cita-citaku. Setelah perbincanganku dengan ayah dan ibuku selesai, aku lalu berbaring
sembari merenungi nasehat mereka. Sesekali air mataku jatuh membasahi pipi.
Hati dan pemikiran bertengkar dengan hebatnya. Aku hanya bisa pasrah dan
memohon agar Allah senantiasa memberi jalan dan kemudahan untuk diriku. Aamiin.
Mentari mulai menampakan sinarnya. Aku berharap
sinarnya yang cerah dapat mencerahkan kembali perasaanku atas nasehat malam
itu. Aku menggendong tas hitamku dan bergegas berangkat sekolah. Sesampainya
disekolah aku langsung menemui dan menceritakan semua keluh kesahku kepada guru
Bimbingan Konselingku. Beliau menyarankan agar aku melanjutkan kuliah dan tidak
mengkhawatirkan perihal biaya, karena akan ada banyak beasiswa untuk membantu
kehidupanku di sana nantinya terutama beasiswa bidikmisi.
Atas kehendak Allah perantara guruku, Alhamdulillah kedua orang tua ku
mengizinkanku untuk berkuliah. Tetapi dengan satu syarat, mereka tidak bisa membantu
sedikit pun biaya perkuliahanku. Bukan karena tidak peduli, bukan juga karena
tidak menyayangi tetapi karena memang keadaaan yang memaksa mereka untuk
memberi keputusan seperti ini. Bagiku
mendapat restu orang tua kala itu sudah cukup. Tidak apa, aku akan giat memperjuangkan ini demi mereka yang
kucinta.
Aku mempersiapkan berkas-berkas pendaftaran
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan beasiswa
bidikmisiku. Jam berganti hari, hari berganti minggu dan beberapa bulan pun
telah berlalu. Tibalah saatnya pengumuman. Alhamdulillah aku diterima di
Universitas Lampung pada Program Studi PG Paud. Selang beberapa hari pengumuman
bidikmisi pun aku buka dan hasilnya aku juga diterima. Aku sangat bersyukur
atas semua ini. Terima kasih wahai Allah.
Hidup dengan berbagai keterbatasan amatlah
menyayat hati. Terutama keterbatasan ekonomi. Kala itu keterbatasan ekonomi mengharuskanku
untuk bekerja ditanah rantau selama 2 bulan untuk membiayai kuliahku. Pada saat
semester satu juga aku sempat bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangga
disekitar kosanku. Selain bekerja sebagai buruh cuci, aku kuliah sambil
berjualan nasi dan sayur dikampusku. Semua ini kulakukan demi menambah uang
sakuku di perkuliahan. Ayah dan ibuku tidak bisa memberi uang lebih karena
mereka juga harus membiayai kosanku setiap tahunnya.
Empat Bulan yang lalu aku hendak memutuskan
untuk bekerja diperantauan selama satu bulan. Kebetulan kuliahku baru saja
libur. Terlalu sayang waktu yang ada jika tidak dimanfaatkan untuk bekerja.
Sebelum berangkat, aku sempat berbincang via
WA kepada salah seorang dosen yang memperdulikanku. “Bu, minggu depan aku
hendak berangkat kejakarta untuk bekerja. Mohon do’anya ya bu?” ucapku. “Untuk
apa bekerja jauh-jauh Wi? Bagaimana jika kamu bekerja dirumah ibu saja disini?”
jawab ibu. Tanpa berfikir panjang, seketika aku langsung menerima tawaran dan membatalkan niatku untuk bekerja
dijakarta. Hingga saat ini alhamdulillah
aku diangkat menjadi anak oleh beliau. Aku tidak lagi tinggal di sebuah
kos-kosan, tetapi aku tinggal di rumah dosenku tepatnya di Labuhan Dalam
kecamatan Tanjung Senang. Walaupun disini aku sempat merasa lelah, tetapi aku
tetap bersabar dan tetap giat berjuang demi orang tua tercinta dikampung
halaman. Ibu angkatku memang tidak banyak menyuruhku untuk bekerja, tetapi aku
harus sadar diri untuk senantiasa membantunya setiap hari.
I
am sorry, god! Aku
terlalu banyak mengeluh. Tapi sejujurnya aku merasa lelah menjalankan beban
yang selalu aku emban sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Entah kapan kebahagiaan
itu bisa aku genggam seutuhnya. Aku hanya bisa menunggu, berdoa dan berjuang.
Seperti Allah menggantikan pelangi setelah hujan, semoga Allah juga memberikan
kebahagiaan setelah pahitnya perjuangan.
Wiwi Pratiwi
Juara 1 Lomba Cerita Inspiratif Bidikmisi Universitas Lampung 2019