Setiap muslim yang sudah menunaikan ibadah puasa pasti sangat menantikan dan memburu malam lailatul qadar. Dalam Al-Quran sendiri telah di jelaskan bahwa “Ada suatu malam yang bernama Lailatul Qadar” (QS Al-Qadr: 1) dan pada malam itu pula “malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan kebijaksanaan” (QS Ad-Dukhan: 3).
Lailatul Qadar sendiri dimaknani sebagai malam 1000 bulan. Orang-orang berlomba untuk beribadah pada malam-malam ganjil di sepuluh hari ganjil terakhir bulan ramadhan karena diyakini malam lailatul qadar terdapat pada hari-hari tersebut.
Bagi masyarakat jawa--khususnya di kampung saya yang notabene mayoritas masyarakatnya berasal dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta—selalu melaksanakan kegiatan likuran atau takiran yang kegiatannya adalah pengajian setiap malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Istilah likuran diambil karena setiap malam ganjil nya adalah selikur, rolikur, telu likur, pat likur, selawe, nem likur, pitu likur, dan songo likur. Sedangkan nama takiran diambil karena pada saat pengajian jamaah membawa takir atau nasi bungkus untuk dimakan bersama setelah pengajian.
Kegiatan likuran dimaknani sebagai kegiatan memburu dan menyambut datangnya malam lailatul qadar. Tradisi likuran pun sudah dilakukan secara turun temurun. Tidak ada yang tahu kapan pastinya tradisi ini dimulai. Tetapi sampai sekarang kegiatan ini masih rutin dilakukan.
Tradisi yang baik ini sejatinya harus terus dilestarikan agar kelak anak cucu kita bisa menikmati indahnya malam lailatul qadar dan nikmatnya takiran. (I. Fisabilhaq)