Syaikh Siti Jenar adalah
putra Syaikh Datuk Sholeh, seorang ulama asal Malaka. Syaikh Siti Jenar dikenal
sebagai tokoh Wali Songo yang memiliki pandangan-pandangan kontrovesial di
zamannya. Beliau dikenal sebagai penyebar ajaran Sasahidan yang berpijak pada
konsep manunggaling kawulo-Gusti, juga sebagai penggagas gagasan komunitas baru melalui
pembukaan hunian baru yang disebut Lemah Abang, selanjutnya berkembang menjadi
varian abangan.
Berbeda dengan makam Wali
Songo, yang jelas letak bangunan serta kisah-kisah yang melingkarinya,
keberadaan makam Syaikh Siti Jenar belum bisa dipastikan secara tepat. Penduduk
Jepara meyakini bahwa makam Beliau terletak di desa Lemah Abang, Jepara.
Penduduk Mantingan meyakini bahwa makam Syaikh Siti Jenar terletak di daerah
mereka. Sedangkan menurut sumber cerita tutur penganut Tarekat Akmaliyah, makam
Sayikh Siti Jenar dinyatakan hilang, sesuai wasiat Beliau yang menyatakan agar
kuburnya kelak tak diberi tanda.
Menurut Babad Demak dan
Babad Tanah Jawi, asal-usul Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar, berasal
dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia setelah mendengar wejangan
rahasia Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di tengah laut. Sedangkan
menurut para penganut Tarekat Akmaliyahm Syaikh Siti Jenar adalah putra Ratu
Cirebon yang ditugaskan menyiarkan agama Islam di tanah Jawa.
Syaikh Siti Jenar,
menurut naskah Negara Kretabhumi Sargha III pupuh 77, beliau pernah menuntut
ilmu di Persia dan menetap di Baghdad, berguru kepada Abdul Malik al-Baghdadi,
dengan memperdalam ilmu tasawuf. Ajaran Syaikh Siti Jenar di Jawa, yang dikenal
dengan sebutan Manunggaling kawula-Gusti,
seperti yang dinukil dari Serat Seh Siti
Djenar (1917), menanamkan suatu pemahaman bahwa semua makhluk di dunia pada
hakikatnya adalah sama di hadapan Allah. Setelah pulang menuntut
ilmu dari Baghdad, Syaikh Siti Jenar pergi ke Malaka dan mengajarkan ilmu
agamanya hingga dikenal dengan gelar Syaikh Datuk Abdul Jalil serta Syaikh
Datuk Jabalrantas. Ia menikah dengan seorang keturunan Gujarat, memiliki putra
bernama Ki Datuk Pardun dan Ki Datuk Bardud.
Kern (1996) yang mengutip
dari Pararaton menjelaskan masuknya
Syaikh Siti Jenar menjadi anggota Wali Songo berhubungan dengan kisah Syaikh
Melaya (Syaikh Malaya; salah satu gelar Sunan Kalijaga), yang berkaitan dengan
Syaikh Dara Putih, yang berasal Dari Pulau Upih Malaka. Berawal dari sebuah
kisah bahwa para wali bersama-sama akan mendapat bagian dari buah semangka yang
di iris menjadi sembilan, namun yang datang hanya delapan, sehingga kelebihan
satu bagian. Kemudian Syaikh Dara Putih memerintahkan muridnya untuk keluar
mencari seorang lagi untuk menjadi wali. Dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga
keluar, dan mendapati Syaikh Siti Jenar berada di luar. Syaikh Dara Putih
kemudian menerima Syaikh Siti Jenar menjadi bagian dari jamaah wali.
Menurut naskah Nagara Kretabhumi, dakwah Syaikh Siti Jenar yang berkembang sangat cepat telah membuat Sultan Demak (Trenggana) marah, terutama karena Syaikh Siti Jenar telah mendukung muridnya, Ki Kebo Kenongo, mendirikan kerajaan di Pengging. Setelah melalui perjalanan panjang, pada akhirnya, Sultan Demak mengutus Sunan Kudus untuk menemui Ki Kebo Kenongo di Pengging, yang pada saat itu telah memeluk islam dan menggantikan ayahandanya. Keduanya beradu argumen tentang kebenaran ilmu masing-masing. Karena tidak ada jalan keluar dan mengemban titah dari Sultan Demak, maka Ki Ageng Pengging pun dibunuh oleh Sunan Kudus dengan menggoreskan kerisnya ke Siku Ki Ageng Pengging.
Menurut naskah Nagara Kretabhumi, dakwah Syaikh Siti Jenar yang berkembang sangat cepat telah membuat Sultan Demak (Trenggana) marah, terutama karena Syaikh Siti Jenar telah mendukung muridnya, Ki Kebo Kenongo, mendirikan kerajaan di Pengging. Setelah melalui perjalanan panjang, pada akhirnya, Sultan Demak mengutus Sunan Kudus untuk menemui Ki Kebo Kenongo di Pengging, yang pada saat itu telah memeluk islam dan menggantikan ayahandanya. Keduanya beradu argumen tentang kebenaran ilmu masing-masing. Karena tidak ada jalan keluar dan mengemban titah dari Sultan Demak, maka Ki Ageng Pengging pun dibunuh oleh Sunan Kudus dengan menggoreskan kerisnya ke Siku Ki Ageng Pengging.
Setelah penumpasan
kekuatan Ki Ageng Pengging, rupanya Syaikh Siti Jenar pun diburu dan dijatuhi
hukuman mati, dengan tuduhan telah mengajarkan ajaran sesat Sasahidan, yaitu
manunggaling kawula gusti, dan mengaku dirinya sebagai Allah.
Kontroversi tentang
bagaimana Syaikh Siti Jenar dibunuh, sampai saat ini masih belum jelas, karena masing-masing sumber
menyatakan hal yang berbeda satu sama lain. Historiografi Cirebon menunjuk
bahwa Syaikh Siti Jenar diadili dan dihukum bunuh di Masjid Sang Cipta Rasa di
Keraton Kasepuhan. Setelah dikubur di area pemakaman Anggaraksa, kuburnya
dibongkar dan diganti anjing, tetapi mayatnya berubah menajdi sekuntum melati,
sehingga area makam tersebut disebut Pamlaten. Historiografi Jawa Tengah
menuturkan bahwa Syaikh diadili di Demak dan dieksekusi di masjid tersebut.
Mayatnya juga dikisahkan diganti dengan bangkai anjing.
Berbagai kontroversi
tentang bagaimana Syaikh Siti Jenar dieksekusi dan disemayamkan, menjadikan
letak kubur salah satu tokoh Wali Songo ini tidak diketahui seara pasti.
Sebagian mengatakan di Cirebon, sebgaian lagi di Mantingan, Jepara, dan Tuban.
Manakah di antara makam-makam tersebut yang benar? Wallahu’alam bish-showab.
(Disadur dari “Atlas Wali Songo”. Agus Sunyoto, 2016: 314-332)
(Disadur dari “Atlas Wali Songo”. Agus Sunyoto, 2016: 314-332)