KH Abdul Wahab Hasbullah Pemikir Progresif NU - KMNU-UNILA.Org : Menebar Dakwah Ahlussunnah Waljama'ah Annahdliyah

Wednesday, January 9, 2013

KH Abdul Wahab Hasbullah Pemikir Progresif NU

Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan seorang Muslim.





KH Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu ulama besar yang dimiliki Indonesia. Kiai Wahab merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), bersama dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri.

Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya, telah diakui sejumlah kalangan, apalagi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Wahab merupakan pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dan membaginya dalam dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai upaya menyatukan dua generasi berbeda, yakni kalangan tua dan muda.

Tahun 1916, ia mendirikan organisasi Islam bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Kemudian pada 1926, ia ditunjuk sebagai ketua Tim Komite Hijaz yang dikirim ke Makkah untuk bertemu dengan Raja Saud (Arab Saudi), yang bermazhab Wahabi, Ketika itu, gerakan Wahabi di Makkah berencana untuk menghancurkan berbagai situs Islam agar tidak menjadi ‘berhala’ bagi umat. Kiai Wahab meminta kebijakan Raja Saud untuk situs-situs Islam tidak dihancurkan. Tujuannya agar umat bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari situs-situs tersebut. Persoalan ini pula yang melandasi pemikiran KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan Nahdlatul Ulama tahun 1926.

Saat pendudukan Jepang di Indonesia, Kiai Wahab pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah). Dan ketika melawan Jepang ini, bersama pasukannya, Kiai Wahab berhasil membebaskan KH M Hasyim Asy’ari dari penjara. Dan setelah Indonesia merdeka, pengasuh pondok pesantren Tambak Beras, Jombang, ini pernah pula menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), bersama dengan Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa.

Haus akan Ilmu
KH Wahab Hasbullah dilahirkan pada Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, dan wafat pada 29 Desember 1971. Ayahnya, Kiai Said, adalah pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Fatimah.

Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Ia diajak shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajud.

Tak hanya itu, sang ayah juga membimbingnya untuk menghafalkan Juz Amma dan membaca Alquran dengan tartil dan fasih. Lalu ia dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil (tipis) dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari hingga yang tebal. Misalnya, Kitab Safinah Annaja, Fath al Qorib, Fath al-Mu’in, Fath al-Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Ia juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulum al-Qur’an, Hadits, dan Ulum al-Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab berada dalam asuhan langsung ayahnya.

Kemudian, ia menghabiskan masa remajanya dengan menimba ilmu di sejumlah pesantren. Ia pernah belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang. Ia juga pernah berguru kepada Syekh R Muhammad Kholil dari Bangkalan Madura dan KH M Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.

Tak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu. Di tanah suci itu, ia mukim selama lima tahun dan belajar pada Syekh Mahfudz at-Tirmasi (Termas, Pacitan) dan Syekh al-Yamani. Setelah pulang ke Tanah Air, ia langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.

Tashwirul Afkar
Di kalangan pesantren, sosok KH Abdul Wahab Hasbullah dikenal sebagai seorang ulama yang berpandangan modern. Ia selalu menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagaman, terutama kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan umat Islam Indonesia.

Untuk itu, ia mendirikan surat kabar, yaitu harian umum Soeara Nahdlatul Oelama atau juga dikenal dengan Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.

Kiai Wahab juga membentuk kelompok diskusi antarulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya, pada 1914 di Surabaya. Kelompok diskusi bentukan Kyai Wahab ini diberi nama Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran).

Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi, berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antartokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan, gaungnya sampai ke daerah-daerah lain di seluruh Jawa.

Tak hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, kelompok ini juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, akhirnya kelompok diskusi ini menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kiai Wahab bersama KH Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah KH Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang sepaham dengan pemikirannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kiai Bisri Syamsuri (dari Denanyar Jombang), Kiai Abdul Halim (Leimunding Cirebon), KH Alwi Abdul Aziz, Kiai Ma’shum (Lasem), dan Kiai Cholil (Kasingan Rembang). Sementara di kalangan pemudanya disediakan wadah, Syubban al-Wathan (Pemuda Tanah Air).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kiai Wahab dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting bagi kaum Muslim Indonesia.

Ia telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan seorang Muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum Muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.

Pada 1920, Kiai Wahab bersama dengan Dr Soetomo merintis terbentuknya Islam Studie Club. Melalui Islam Studie Club, kedua tokoh pergerakan ini merintis sebuah gerakan yang kelak menjadi cikal bakal munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerja sama antara kekuatan Islam dan Nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa.

Melalui Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubban al-Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal ini menimbulkan dampak makin bergeloranya semangat cinta Tanah Air di kalangan pemuda. ed:sya

Mengembangkan Dakwah Melalui Media

Bersama tokoh NU lainnya, Kiai Wahab pernah membeli sebuah percetakan beserta sebuah gedung sebagai pusat aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya. Dari sini kemudian ia merintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Ini dilandasi oleh pemikirannya yang sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang selama ini dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di pesantren.

Dari percetakan ini kemudian diterbitkan majalah tengah bulanan Soeara Nahdlatul Oelama. Selama tujuh tahun majalah ini dipimpin Kiai Wahab sendiri. Teknis redaksional dari majalah tersebut lalu disempurnakan oleh Kiai Machfudz Siddiq dan namanya diganti menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di samping itu diterbitkan pula Suluh Nahdlatul Ulama, lalu Terompet Anshor, dan majalah berbahasa Jawa Penggugah. Dari tradisi kepenulisan ini NU pernah melahirkan jurnalis-jurnalis ternama, seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri, dan Mahbub Junaidi. Juga memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat. nidia ed:sya

Inspirator GP Ansor

Keberadaan Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor) tidak terlepas dari peran KH Abdul Wahab Hasbullah. Kelahiran organisasi pemuda NU ini berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader.

KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru di saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam.

Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924, para pemuda yang mendukung KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya GP Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Penggunaan nama Ansor ini merupakan saran KH Wahab Hasbullah. Nama ini diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian, keberadaan GP Ansor dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta teladan terhadap sikap, perilaku, dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang, dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan, dan membentengi ajaran Islam.

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.

Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH Machfudz Siddiq, KH A Wahid Hasyim, KH Dachlan Kertosono, Thohir Bakri, dan Abdullah Ubaid serta dukungan dari ulama senior KH Abdul Wahab Hasbullah.

Pada masa penjajahan Jepang, keberadaan organisasi-organisasi pemuda, termasuk ANO, diberangus. Setelah revolusi fisik (1945-1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Mohammad Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH A Wahid Hasyim, Menteri Agama RIS kala itu. Maka, pada 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru, yakni Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP Ansor).

Sumber : http://gp-ansor.org/biografi/kh-abdul-wahab-hasbullah-pemikir-progresif-nu

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda