Akhir-akhir ini warga nahdliyin sedang diuji kesabarannya. Salah satu ujian kesabaran warga Nahdlatul Ulama (NU) yaitu semakin gencarnya badai fitnah yang ditujukan kepada para ulama dan amaliyah yang dilakukan oleh warga nahdliyin. Pembid’ah-an yasinan, tahlilan, ziarah kubur, nampaknya sudah menjadi hal yang biasa diterima oleh warga nahdliyin. Yang terbaru datang dari bumi Sidoarjo dimana tersiar kabar adanya pembubaran pengajian yang diisi oleh salah seorang ustadz oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Kabar itupun kian viral lantaran disebar melalui media sosial. Tak ayal, hal ini dijadikan momentum oleh pihak yang tidak sejalan dengan NU untuk menjatuhkan citra Banser dan NU pada umumnya dengan memposting berita yang tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya dan dibumbui dengan kata-kata provokatif. Padahal, ada alasan logis yang mendasari pembubaran pengajian tersebut. Alasan pembubaran dikarenakan ustadz yang mengisi pengajian tersebut sering mengangkat hal-hal yang dapat memecah keutuhan NKRI.
Kemudian muncullah berbagai tanggapan dari warga nahdliyin di media sosial. Ada yang dengan kepala dingin memberikan klarifikasi terkait kejadian yang sebenarnya, ada pula yang dengan sikap keras membalas dengan postingan yang meng-counter pihak yang tidak sejalan dengan NU. Lantas, dari dua sikap tersebut manakah yang seharusnya dilakukan nahdliyin?
Kita dapat belajar dari apa yang telah dilakukan di internal NU sendiri. Seperti yang terjadi saat ketua umum PBNU, Prof. Dr. Said Aqil Siradj, MA., memberikan klarifikasinya dihadapan Forum Kiai Muda Jawa Timur lantaran tulisan-tulisan beliau dianggap oleh sebagian warga NU pro dengan Syiah. Atau kita juga dapat mencontoh sikap ulama-ulama NU yang tetap ramah dan tak membalas meskipun sering difitnah dan dijatuhkan. Maka dari itu, counter attack atau serangan balik ke pihak yang menjatuhkan NU bukanlah langkah yang tepat. Karena ini bukanlah sepakbola dimana serangan balik digunakan untuk mengambil keuntungan atau menciptakan gol, tapi ini hal yang menyangkut jati diri NU yang identik dengan ramah tamah. Lebih baik memberikan klarifikasi yang berbasis keilmuan sehingga tindakan yang dilakukan tidak mencoreng citra NU sendiri.
Pluralitas warga nahdliyin juga harus diperhatikan. Ada yang lulusan pondok pesantren dan menguasai dalil-dalil amaliyah NU namun lebih banyak lagi yang hanya turut menjalankan amaliyah-amaliyah khas NU tanpa mengerti dalilnya sehingga tidak dapat memberikan klarifikasi yang ilmiah jika ada pihak yang “menyerang” amaliyah NU. Dengan keterbatasan keilmuan tersebut maka lebih baik tidak berstatemen yang bernada keras guna meng-counter pihak yang tidak sejalan dengan NU atau memilih diam. Hal itu guna menjaga keutuhan dan hubungan sesama umat islam di nusantara.
Maka dari itu, menghadapi segala bentuk “Serangan” yang dilakukan oleh pihak yang tidak sejalan dengan NU tidaklah dengan menggunakan cara amuk-amuk maupun kekerasan, tetapi harus menggunakan cara yang strategis, taktis, serta berbasis keilmuan.
(Dwi Wahyudi/Arin)
Source : www.kmnu.or.id