"Man arofa nafsahu, faqod ‘arofa robbahu"
Barang siapa mengenali dirinya (termasuk adat tradisi dan budayanya),
niscaya ia akan mengenal Tuhannya (al Hadits).
Islam nusantara, di sini bukanlah berarti sebuah aliran sempalan dalam Islam. Islam nusantara merupakan sebuah tatanan peradaban yang memiliki karakteristik khas, yang meliputi nilai, moral, etika, pengetahuan, cara pandang, serta kosmologi kebudayaan masyarakat jawa/nusantara secara luas, di mana umat islam mampu menjadi pemeran utama dalam mengimplementasikan endapan saripati ajarannya (tasawuf) di setiap unsur kehidupan. Islam nusantara merupakan salah satu bentuk cerminan seperti ungkapan Gus Dur "Kosmopolitanisme Peradaban Islam ” yang belum usai, di mana masyarakat nusantara memiliki watak yang sangat toleran dan terbuka terhadap segala khasanah kebudayaan serta pemikiran, dengan mengolahnya secara kreatif dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Sebagaimana dawuh Gus Dur, "kosmopolitanisme peradaban Islam muncul dalam sejumlah unsur yang dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heteroginitas politik". Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Dalam konteks inilah, warisan nabi dalam penciptaan peradaban madinah menjadi dasar utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam, termasuk dalam konteks peradaban islam nusantara.
Kosmopolitanisme peradaban Islam nusantara memiliki historisitas cukup panjang, yang dibangun oleh para walisongo dengan menghasilkan tradisi yang masih hidup hingga saat ini. Tradisi dalam peradaban islam nusantara merupakan sebuah garis ketersinambungan antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Mata rantai tersebut memiliki akar yang kuat dan telah terbangun selama berabad-abad dengan cara damai, selaras dan harmonis. Baik secara vertikal maupun horisontal selaras antar manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alam. Secara kebudayaan, peradaban islam nusantara juga telah melahirkan konsep keseimbangan “ Arab Digarap, Jowo Digowo, Barat Diruwat ”, masyarakat nusantara dapat menemukan Islam secara mendalam, tanpa harus menjadi Arab, juga tidak kehilangan kultur lokalnya.
Namun seiring dengan perubahan zaman yang begitu keras, nampaknya garis tradisi tersebut kini mulai terkoyak akibat serangan dari berbagai arah. Kolonialisme bisa dikatakan sebagai faktor utama tercabik-cabiknya peradaban islam nusantara. Kolonialisme bukan semata berarti serangan kolonial pada era kemerdekaan. Dalam konteks sekarang, justru kolonialisme yang utama ialah serangan berbagai macam ideologi baik dari barat (liberalisme ekonomi) maupun dari Timur Tengah (fundamentalisme agama), yang semakin tumbuh subur belakangan ini dan berupaya memutus mata rantai tradisi warisan para walisongo. Akibat gempuran tersebut, tidak mengherankan jika masyarakat kita secara mental banyak mengalami “ pangling budaya” (teralienasi dari budaya lokal), yakni sebuah kondisi mental inferior dalam menganggap budaya lain di atas segala-galanya dibandingkan budaya sendiri. Menganggap apa yang telah menjadi tradisi budaya sendiri sebagai bukan bagian dari Islam, lalu menuduhnya dengan anggapan bid’ah, syirik, tahayul, dan sebagainya.
Kondisi di atas juga melahirkan mental kagetan yang tengah menghinggapi pola pikir kita dewasa ini. Melihat dunia arab kaget, seolah-olah lebih islami ketimbang masyarakat kita sendiri. Jika demikian, maka pemahaman tentang keberislaman terdistorsi hanya sebatas permukaan sebatas islam simbol atau islam atribut belaka. Amat bertolak jauh dengan apa yang telah diajarkan para walisongo. Di sisi lain, kemajuan peradaban barat juga cukup menggiurkan pandangan kita walaupun secara ideologis juga membawa benih-benih sekulerisme yang tanpa sadar kita menerimanya setiap saat yang salah satu agendanya secara sistemik adalah ingin memisahkan Islam dari peradaban nusantara. Ini menjadi ancaman yang serius bagi peradaban islam nusantara serta bagi keutuhan bangsa Indonesia pada umumnya.
Oleh sebab itu, kami yakin bahwa kembali ke tradisi adalah solusi yang tepat dalam menuntaskan persoalan bangsa. Dalam tradisi, terdapat ilmu serta pengetahuan yang telah diwariskan oleh para leluhur bagaimana mereka merawat kehidupan secara menyeluruh. Melalui islam nusantara ini diharapkan dapat mengingat kembali dan melacak jejak warisan tradisi para walisongo sebagai modal utama dalam menyangga peradaban di masa kini dan masa mendatang.(ARH)