KAROMAH MBAH MA'SHUM LASEM - KMNU-UNILA.Org : Menebar Dakwah Ahlussunnah Waljama'ah Annahdliyah

Thursday, April 6, 2017

KAROMAH MBAH MA'SHUM LASEM


Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.

Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.

Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kiai Abdullah, Kiai Abdul Salam, dan Kiai Siroj), Kudus (Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin), Sarang Rembang (Kiai Umar Harun), Solo (Kiai Idris), Termas (Kiai Dimyati), Semarang (Kiai Ridhwan), Jombang (Kiai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kiai Kholil), hingga Makkah (Kiai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.

Suatu saat, di Semarang, dia tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan ilmu”.

Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan, “Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”

Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:

Walisanga Bertamu

Ada satu kisah karamah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum.

Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.

Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.

“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” tanya Ahmad sekali lagi.

“Tidak usah,” ujar me­reka serempak lalu pergi.

Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.

Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.

Tapi apa lacur, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.

Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisanga dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel.

Setelah mengucapkan kalimat terse­but, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.

Beras Melimpah

Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar nanti.”

Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”

Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”

Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”

Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum.

Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.

“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”

“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya.

Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung be­ras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi.

Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.

Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras?

“DuaTahun Lagi Saya Menyusul”

“Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusui dua tahun kemudian,” demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.

Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusui.”

Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum’at di masjid jami’ Lasem, tak jauh dari rumahnya.

Persis seperti ucapannya, menyusui dua tahun setelah pamandanya wafat.

Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir”

Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.

Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar, “Seorang kiai tidak harus meng­gunakan peci haji atau sorban. ‘Berdzikir’ kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebe­rapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.”

Insya Allah akan Kembali

Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma’shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali.

“Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.

Ketika rombongan mampir ke rumah Kiai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.”

Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya?”

Dijawab Kiai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”

Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.

Kendaraan Soal Belakang

Kali ini soal dokar. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Se­telah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar ke­cuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma’shum berkata, “Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”

Ketika itu rombongan Mbah Ma’shum sudah sampai di sebuah mushalla. Maka shalatlah mereka secara berjama’ah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.

Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman mushalla, lewatlah sebuah do­kar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah
(Disadur dari Majalah Alkisah No. 26/Tahun VII)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda