Berjuang Menerjang Keterbatasan - KMNU-UNILA.Org : Menebar Dakwah Ahlussunnah Waljama'ah Annahdliyah

Tuesday, July 9, 2019

Berjuang Menerjang Keterbatasan






Dikegelapan malam kala itu aku termenung memikirkan impian yang sejak lama sudah aku perjuangkan. Bingung akan kemana impian ini hendak kubawa. Memilih untuk mengubur impian itu dalam-dalam atau terus memperjuangkan dengan segala keterbatasan.
Namaku Wiwi Pratiwi.  Aku tidak seberapa paham arti dari namaku. Banyak orang bilang kepadaku bahwa aku adalah orang jawa barat (suku sunda). Terlihat dari namaku yang cenderung berulang-ulang. Sudah Wiwi, ditambah Pratiwi lagi. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Adiku yang pertama bernama Sulis Fitria lahir  tahun 2003 dan adiku yang ke dua bernama Restu Septiyan lahir tahun 2011. Bapaku bekerja sebagai petani penggarap sawah milik orang lain dan ibuku tidak bekerja.  Aku sangat sayang kepada bapak dan ibu. bapak orangnya cerdas, disiplin dan dia selalu berpesan  agar aku tidak meninggalkan sholat 5 waktu serta giat dalam belajar. Begitu pun ibu, orang terhebat di dunia, selalu tegar, semangat dan sangat menyayangi aku.
Kala itu senja mulai hilang tergantikan oleh malam. Aku, bapak dan ibu berkumpul diruangan kecil yang menyatu dengan dapur untuk berbincang mengenai kuliahku. Bapak tidak mengizinkanku untuk melanjutkan kuliah karena biaya kuliah yang tidak sedikit “Anakku, bapak bukan tidak mendukung impianmu, hanya saja untuk menggapai impianmu membutuhkan biaya yang cukup banyak. Semua orang memang berhak punya mimpi. hanya saja jalan setiap orang itu berbeda-beda. Keluarga kita butuh biaya untuk makan sehari-hari, belum lagi hutang bapak yang setiap tahun kian meningkat karena bapak belum bisa melunasi“ ucap bapaku. “Lebih baik kamu bekerja saja nak, bantu bapakmu mencari uang untuk menyekolahkan adik-adikmu. Ibu juga sebenarnya lelah bekerja ditempat orang tetapi tidak pernah digaji hanya karena ingin balas budi atas hutang-hutang kita “ tambah ibuku.
Malam semakin larut dan udara pun mulai terasa dingin. Sedingin perasaanku menerima nasehat dari ayah dan ibuku. Iya, Itulah pesan mereka untukku. Mau tidak mau aku harus memikirkan ulang perihal cita-citaku. Setelah perbincanganku dengan ayah dan ibuku selesai, aku lalu berbaring sembari merenungi nasehat mereka. Sesekali air mataku jatuh membasahi pipi. Hati dan pemikiran bertengkar dengan hebatnya. Aku hanya bisa pasrah dan memohon agar Allah senantiasa memberi jalan dan kemudahan untuk diriku. Aamiin.
Mentari mulai menampakan sinarnya. Aku berharap sinarnya yang cerah dapat mencerahkan kembali perasaanku atas nasehat malam itu. Aku menggendong tas hitamku dan bergegas berangkat sekolah. Sesampainya disekolah aku langsung menemui dan menceritakan semua keluh kesahku kepada guru Bimbingan Konselingku. Beliau menyarankan agar aku melanjutkan kuliah dan tidak mengkhawatirkan perihal biaya, karena akan ada banyak beasiswa untuk membantu kehidupanku di sana nantinya terutama beasiswa bidikmisi.
Atas kehendak Allah perantara guruku, Alhamdulillah kedua orang tua ku mengizinkanku untuk berkuliah. Tetapi dengan satu syarat, mereka tidak bisa membantu sedikit pun biaya perkuliahanku. Bukan karena tidak peduli, bukan juga karena tidak menyayangi tetapi karena memang keadaaan yang memaksa mereka untuk memberi keputusan seperti  ini. Bagiku mendapat restu orang tua kala itu sudah cukup. Tidak apa, aku akan  giat memperjuangkan ini demi mereka yang kucinta.
Aku mempersiapkan berkas-berkas pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan beasiswa bidikmisiku. Jam berganti hari, hari berganti minggu dan beberapa bulan pun telah berlalu. Tibalah saatnya pengumuman. Alhamdulillah aku diterima di Universitas Lampung pada Program Studi PG Paud. Selang beberapa hari pengumuman bidikmisi pun aku buka dan hasilnya aku juga diterima. Aku sangat bersyukur atas semua ini. Terima kasih wahai Allah.
Hidup dengan berbagai keterbatasan amatlah menyayat hati. Terutama keterbatasan ekonomi. Kala itu keterbatasan ekonomi mengharuskanku untuk bekerja ditanah rantau selama 2 bulan untuk membiayai kuliahku. Pada saat semester satu juga aku sempat bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangga disekitar kosanku. Selain bekerja sebagai buruh cuci, aku kuliah sambil berjualan nasi dan sayur dikampusku. Semua ini kulakukan demi menambah uang sakuku di perkuliahan. Ayah dan ibuku tidak bisa memberi uang lebih karena mereka juga harus membiayai kosanku setiap tahunnya.
Empat Bulan yang lalu aku hendak memutuskan untuk bekerja diperantauan selama satu bulan. Kebetulan kuliahku baru saja libur. Terlalu sayang waktu yang ada jika tidak dimanfaatkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku sempat berbincang via WA kepada salah seorang dosen yang memperdulikanku. “Bu, minggu depan aku hendak berangkat kejakarta untuk bekerja. Mohon do’anya ya bu?” ucapku. “Untuk apa bekerja jauh-jauh Wi? Bagaimana jika kamu bekerja dirumah ibu saja disini?” jawab ibu. Tanpa berfikir panjang, seketika aku langsung menerima tawaran  dan membatalkan niatku untuk bekerja dijakarta. Hingga saat ini alhamdulillah aku diangkat menjadi anak oleh beliau. Aku tidak lagi tinggal di sebuah kos-kosan, tetapi aku tinggal di rumah dosenku tepatnya di Labuhan Dalam kecamatan Tanjung Senang. Walaupun disini aku sempat merasa lelah, tetapi aku tetap bersabar dan tetap giat berjuang demi orang tua tercinta dikampung halaman. Ibu angkatku memang tidak banyak menyuruhku untuk bekerja, tetapi aku harus sadar diri untuk senantiasa membantunya setiap hari.
I am sorry, god! Aku terlalu banyak mengeluh. Tapi sejujurnya aku merasa lelah menjalankan beban yang selalu aku emban sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Entah kapan kebahagiaan itu bisa aku genggam seutuhnya. Aku hanya bisa menunggu, berdoa dan berjuang. Seperti Allah menggantikan pelangi setelah hujan, semoga Allah juga memberikan kebahagiaan setelah pahitnya perjuangan.

Wiwi Pratiwi
Juara 1 Lomba Cerita Inspiratif Bidikmisi Universitas Lampung 2019

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda