Sebagai salah seorang ulama Nusantara berkaliber internasional yang kepakaran dan keilmuannya di bidang agama diakui dunia Islam, Syekh Mahfudz bin Abdullah Attarmasi tidak lantas melupakan tanah kelahiranya begitu saja. Ia yang dilahirkan dari daerah kecil di Kabupaten Pacitan yang bernama “Tremas” itu masih tetap berbakti terhadap tanah airnya, Indonesia.
Kecintaanya pada tanah kelahiran, yang pertama diwujudkan dengan seringnya Syekh Mahfudz menggunakan Bahasa Jawa sebagai ciri khasnya saat mengajar para santrinya di Masjidil Haram Mekah. Penggunaan Bahasa Jawa itu tidak terlepas dari banyaknya santri yang berasal dari Jawa. Walaupun tidak sedikit santri yang berasal dari luar Jawa, bahkan luar Indonesia seperti Thailand, Malaysia, India dan Syiria.
Sementara beberapa tradisi muslim Nusantara seperti dibaan dan tahlilan pada masa Syekh Mahfudz juga dilakukan dengan baik di sana. Diceritakan, tiap datang bulan maulid, nuansa tradisi muslim Jawa terasa begitu kental. Layaknya tradisi di Jawa, lantunan sholawat nabi dan terbangan bergema di serambi Masjidil Haram.
Syekh Mahfudz berangkat ke Mekah bersama adiknya, Kiai Dimyathi pada tahun 1872 M. Ia mulai mengajar di Masjidil Haram sejak tahun 1890 M. Sewaktu ayahnya (Kiai Abdullah) wafat pada tahun 1894 M, ia mengirim adiknya, Kiai Dimyathi untuk pulang ke Jawa. Kemudian Kiai Dimyathi inilah yang menjadi kiai di Tremas. Sementara ia tidak kembali ke Nusantara dan memilih berkarir di Mekah.
Meskipun tidak pernah mengajar di Pesantren Tremas, Syekh Mahfudz turut mengangkat dan mengharumkan nama pesantren yang didirikan kakeknya, Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo, pada tahun 1830 M itu hingga terkenal ke saentero dunia.
Tiap musim haji tiba, banyak orang Jawa bermukim di Mekah dan berguru langsung kepada Syekh Mahfudz. Bila santrinya hendak kembali pulang ke Jawa, Syekh Mahfudz selalu menitipkan salam untuk saudaranya yang berada di Jawa. Selain itu, para santrinya juga diminta untuk meneruskan belajar kepada adiknya, Kiai Dimyathi yang kala itu mulai mengasuh Pesantren Tremas.
Ini merupakan cara Syaikh Mahfudz mengenalkan Pesantren Tremas kepada para santrinya sehingga sejak saat itu Pesantren Tremas mulai banyak didatangi para santri dari penjuru Nusantara.
Padahal sebelumnya sulit dibayangkan, Tremas yang terletak di daerah Pacitan yang kala itu sulit dijangkau oleh manusia karena daerahnya yang berbukit-bukit dan masih berupa hutan belantara serta belum tersedianya sarana transportasi yang memadai dapat dikenal luas sebagai tempat untuk menimba ilmu.
Selanjutnya seperti kebanyakan ulama Nusantara lainya, Syekh Mahfudz kembali mengabadikan nama tempat ia dilahirkan dengan menyandangkan nama “Attarmasi” di belakang namanya. Seperti Syekh Nawawi yang menisbatkan nama Banten menjadi Al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Al-Minagkabawi yang menisbatkan nama Minangkabau.
Sedang nama Attarmasi merupakan nisbat dari sebuah desa bernama Tremas. Keterangan lain menyebut “Atturmusi” dan “Attirmisi”, namun nama yang paling populer adalah Attarmasi. Hingga kesohorlah nama Syekh Mahfudz Attarmasi, yang berarti ulama dari daerah Tremas.
Tidak sampai di situ, ia juga menulis nama Attarmasi pada judul kitab yang dikarangnya. Yaitu kitab Hasyiah at-Tarmasi ala Syarah Bafadhal dan Al-Fawaidz At-Tirmisiah ‘ala As-Sanid Al-Qiro’at As’ariyahs.
Asal Mula Nama Tremas
Tremas berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan Mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita. Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas. Yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya.
Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R Ngabehi Honggowijoyo (ayah Kiai Abdul Manan, pendiri pertama Pesantren Tremas). Maka dari itu setelah meminta izin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut.
Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu kemudiam ditanam di tempat ia pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.
Melalui cerita singkat ini, sangat tepat apabila seseorang ingin selalu dikenang, maka ia harus meninggalkan sesuatu yang bermanfaat. Selaras dengan ungkapan “Barangsiapa yang tidak punya tanah air, maka tidak mungkin punya sejarah. Barangsiapa yang tidak punya sejarah, maka akan terlupakan”.
*) Disarikan dari buku Mengenal Pondok Tremas dan Perkembanganya, dan terjemah kitab Al-Minhah Al-Khoiriyyah; Kumpulan 40 Hadits Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdulllah Attarmasi.