Kiai Sahal: Konsep Aswaja itu Merakyat - KMNU-UNILA.Org : Menebar Dakwah Ahlussunnah Waljama'ah Annahdliyah

Friday, November 21, 2014

Kiai Sahal: Konsep Aswaja itu Merakyat

Dua tahun sebelum muktamar NU ke-33, jurnal Tashwirul Afkar mewawancarai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Haji Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. Tanggal 25 Januari 2014, di tengah menjalankan tugas sebagai Rais Aam untuk ketiga kalinya, Kiai Sahal wafat.

Namun, isi wawancara yang dilakukan Ahmad Fawaid Sjadzili dan Hamzah Sahal dinilai amat relevan untuk diterbitkan lagi. Dalam wawancara ini, Allahu yarham Kiai Sahal seperti berwasiat tentang anakmuda, Nahdlatul Ulama, Aswaja, tak ketinggalan Indonesia.

Dengan beberapa pemotongan, NU Online menerbitkan kembali wawancara ini, di tengah peringatan 40 hari wafatnya, yang banyak diselenggarakan masyarakat di banyak tempat.

Kiai Sahal, Anda masyhur dengan konsep fiqih sosial. Apa yang melatarbelakangi gagasan tentang fiqih sosial?

Saya melihat ulama itu kalau sudah bahtsul masail, dan membahas fiqih itu terlalu sakral. Saya tidak tahan dengan sikap-sikap seperti itu. Karena fiqih itu adalah hasil dari pemikiran manusia, berdasarkan ijtihad yang dilakukan manusia, bukan dogmatis. Jadi tidak sakral. Untuk menghilangkan itu, saya menggunakan istilah fiqih sosial, bagaimana fiqih itu menjadi hal yang memasyarakat, bukan hal yang sakral.

Kongkretnya bagaimana?

Kongkretnya karena kehidupan sehari-hari tidak bisa lepas dari kode etik. Sekarang saja saya tidak bisa lepas dari kode etik. Saya harus melayani Anda sebagai tamu dengan ramah; Anda bertanya dan saya menjawab pertanyaan Anda. Fiqih itu luas. Anda jauh lebih muda dari saya, tapi saya suguhi minuman sebagai penghormatan. Jadi meskipun Anda masih muda, saya tidak pantang untuk melayani Anda, karena Anda tamu. Apalagi ada maksud baik, yaitu mau wawancara. Ini fiqih.

Apa yang paling prinsif dari fiqih sosial?

Fiqih sosial itu begini, masalah-masalah sosial yang ada kaitannya dengan hukum. Dan saya pikir semua masalah sehari-hari ini ada kaitannya dengan hukun dan juga fiqih.

Bagaimana agar fiqih tetap relevan?

Fiqih itu kan hidup dengan ijtihad. Ijtihad itu disesuaikan dengan kebutuhan. Ijtihad itu kan berusaha untuk mencapai kebutuhan.

Ijtihad jadi kata kunci dalam fiqih?

Ya. Ijtihad jadi kata kunci.

Bagaimana dengan anggapan pintu ijtihad telah tertutup?

Ijtihad bermacam-macam, ada ijtihad mutlaq dan ijtihad muqayyad, ijtihad yang bebas dan terbatas. Ijtihad itu ada yang ijtihad madzhab dan ijtihad qaul. Ijtihad itu tidak punya pintu, sehingga tidak ada istilah tertutup atau terbuka. Tidak mampu melakukan ijtihad, saya kira iya. Tapi jangan disamakan antara tidak mampu ijtihad dengan ijtihad ditutup.

Persoalannya, siapa yang memapu menjadi Imam Syafi’i sekarang? Apakah ada yang berani mengaku seperti Imam Syafi’i? kan imam mujtahid mutlaq seperti imam yang empat?

Sekarang bagaimana? Ada yang tahu hadits dan Al-Qur’an cuma sepotong-potong; ada yang hafal tapi tidak mengerti; ada juga yang mengerti tapi tidak hafal. Kekuarang selalu banyak. Berbedaan dengan ulama terdahulu yang hafal Al-Qur’an sekaligus menguasai tafsir. Kemampuan saya dibanding ayah saya sangat jauh. Bahkan bisa dikatakan, saya tidak mampu menandingi ayah sama sekali. Ayah saya hafal Al-Qur’an, menguasai kitab dan pengetahuan kemasyarakatan. Tapi saya tidak mampu seperti itu.

Kiai, bagaimana perkembangan kajian keislaman saat ini?

Masih relatif bisa diharapkan, meskipun berkurang. Masih banyak pesantren yang memiliki prinsip mengajarkan dirosat islamiyah (kajian keislaman), terutama di bidang fiqih.

Keputusan bahtsul masail di Muktamar Boyolali dan Munas Surabaya dinilai tidak progresif dibandingkan dengan Munas Lampung. Bagaiamana menurut Kiai?

Tidak progresif?

Misalnya hermeunetika diharamkan di Muktamar Boyolali?

Kalau orang memutuskan haram itu karena situasi. Jangan dianggap menurun dong. Boleh dong kalau ada pertanyaan ‘kok dihalalkan terus?’ Harus obyektiflah. Orang yang berbicara begitu belum tentu tahu fiqih. Jadi harus melihatnya secara obyektif.

Berbicara tentang pesantren sebagai lumbung kader NU. Bagaimana situasi pesantren saat ini?

Keadaan pesantren sekarang lain dengan pesantren yang dulu. Kalau pesantren yang dulu itu terkonsentrasi. Para santri dan para kiai pengasuh pesantren terkonsentrasi pada ajaran-ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Sehingga melahirkan tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang susah dipisahkan dan susah dibuang begitu rupa. Tradisi itu melekat, inhern pada kehidupan sehari-hari mereka. Itu yang pertama.

Yang kedua, pada sistem pesantren itu sendiri. Sistem pesantren itu dulu lebih memfokuskan kepemimpinan pada pengasuh. Tapi itu dulu. Sekarang pesantren beda, karena terpengaruh dengan sistem demokrasi. Jadi sistem demokrasi itu masuk di pesantren telah mengubah sistem pesantren, sehingga kepemimpinan pengasuh itu tidak terjadi lagi. Mending kalau pengasuhnya kebetulan peduli dengan perkembangan ini, sehingga kiai itu bisa memberikan arahan-arahan. Kalau tidak, susah juga.

Bagaimana pengalaman Kiai di Kajen?

Kalau saya, saya ikuti. Santri saya beri kebebasan sebebas-bebasnya, tetapi dengan arahan. Tidak lalu bebas mutlak. Dan arahan saya tidak monolog. Saya selalu memberi arahan melalui dialog. Karena mereka sadar bahwa tidak mungkin santri itu hidup sendiri dengan kemandirian penuh, masih ada ketergantungan pada pengasuhnya. Mereka sendiri yang mempunyai kesadaran seperti itu, bukan karena saya yang memengaruhi.

Apa faktor yang mengubah kondisi pesantren saat ini?

Faktor pemahaman demokrasi yang kurang begitu tepat. Orang gampang bicara demokratisasi. Semetara di mana menempatkan demokrasi itu tidak dipikirkan. Dan tentu tidak semua hal secara general harus disikapi dengan demokrasi. Ada aspek-aspek yang tidak bisa diselesaikan dengan demokrasi.

Misalnya?

Aspek dogmatis misalnya. Itu tidak bisa diselesaikan dengan demokrasi. Banyak h al lain yang berkaitan dengan pesantren yang tidak bisa diselesaikan dengan demokrasi. Bayangkan kalau aspek dogmatis diselesaikan dengan demokrasi.

Tentang politik praktis, Kiai. Apa tanggapan Anda tentang perbedaan politik praktis di NU dan pesantren?

Itu bukan perbedaan politik. Bagi saya, perbedaan sikap yang ada pengaruhnya. Sipa para pengurus pesantren yang belum bisa melepas politik akan berbeda ketika memimpin NU, karena akan selalu mempolitisir NU. Apabila pengurus NU-nya telah melepaskan politik praktis, tidak aka nada upaya mempolitisir NU. Salah satu contohnya adalah Pilkada.

Apa yang musti dilakukan pesantren?

Ya tergantung pengasuhnya. Kalau pengasuhnya cuek, ya sudah lepas semua. Tapi kalau pengasuhnya masih punya pengaruh dan punya idealisme, masih memberikan arahan-arahan pada santrinya, itu bisa terselamatkan. Jadi itu tergantung pada pengasuhnya. Sekarang banyak pengasuh-pengasuh muda yang sikapnya tidak lagi sesuai dengan motivasi munculnya pesantren waktu didirikan.

Nilai apa yang harus dipertahankan agar pesantren tetap pada relnya?

Ya Ahlussunnah wal Jama’ah. Apalagi?

Kenapa Ahlussunnah wal Jama’ah?

Ahlussunnah wal Jama’ah ini nilai yang bisa dinegosiasikan. Bagaimana juga kebiasaan-kebiasaan masyarakat dipertahankan. Cuma terkadang masyarakat terlalu formalistik, dan ini tidak diterima, menggunakan dalil ini dan dalil itu. Pendekatan-pendekatan budaya, lewat kultur dan tidak formalistik, itu harus dipertahankan.

Selain menjadi Rais Aam PBNU, Kiai juga menjadi Ketua Umum MUI. Apakah ada masalah?

Tidak ada.

Tidak ada konflik kepentingan?

Tidak ada. Yang penting ada komunikasi. Sikap-sikap NU terhadap MUI misalnya bisa saya netralisir di NU. Di MUI juga ada persoalan dengan NU, saya juga memberikan penjelasan di MUI. Dan sampai sekarang NU tidak pernah menanyakan bagaimana situasi di MUI. Saya selama menjadi ketua MUI, oleh siapapun di NU tidak menanyakan bagaimana situasi saya menjadi ketua.

Terkait dengan NU. Kita bisa bercerita bagaimana pengalamannya memangku Rais Aam PBNU sejak Muktamar Lirboyo tahun 1999?

Sejak saya memangku Rais Aam, kami sebenarnya ingin mengkongkretkan NU ke khittah 26, yang sampai saat ini sebenarnya masih tarik ulur dengan pengurus yang memiliki kepentingan politik. Itu yang saya rasakan suka dukanya memimpin NU. Di samping itu, bukan pekerjaan yang mudah menghilangkan atau menghapus syahwat politik yang demikian besar, baik di kalangan masyarakat NU sendiri maupun pengurus NU sendiri untuk kembali kepada NU sebagai jam’iyah maupun NU sebagai jama’ah yang memfokuskan diri kepada persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, tidak lagi berusan dengan partai politik atau politik praktis.

Nah, untuk mencapai itu semua saya mendapatkan banyak kendala. Pertama,susahnya menghilangkan syahwat politik dari kalangan masyarakat NU sendiri. Kedua, generasi pengurus baru yang akan membawa NU kembali ke khittah 26 juga belum siap sepenuhnya. Ketiga, lingkungan masyarakat di Indonesia ini diliputi oleh gejolak politik yang tidak stabil, yang itu juga mendorong warga NU untuk tidak saja meninggalkan respon politis. Itu yang saya rasakan selama ini.

Kenapa jama’ah dan jam’iyah NU gagap, padahal khittah 26 sudah berjalan 24 tahun?

Karena begitu kuatnya atmosifir politik praktis di NU. Lebih-lebih NU punya sejarah gemilang sebagai partai politik, Partai NU pernah menjadi partai terbesar ketiga. Sehingga wajar bila warga NU begitu kuat syahwat politiknya, dan susah meninggalkan sama sekali urusan politik praktis, kecuali orang NU yang memiliki idealisme. Sementara warga NU tidak semuanya memiliki idealisme, bahkan seringkali apa yang dilakukan merupakan respon sesaat.

Apa solusi terhadap kenyataan tersebut, Kiai?

Harus ada regenerasi. Regenerasi atau kaderisasi membutuhkan proses yang sangat panjang. Sayangnya generasi yang sudah siap juga terkontaminasi oleh politik praktis yang tidak jelas arahnya.

Bagaimana upaya menuju regenerasi?

Itu tak bisa saya sendiri dong. Karena apa? Cabang punya kepentingan. Itu karena hak pilih seorang pimpinan itu adalah muktamar kalau di tingkat Pengurus Besar. Atau Konferwil di tingkan Pengurus Wilayah, dan Konfercab di tingkangkat Pengurus Cabang. Jadi sebenarnya yang punya otoritas adalah Pengurus Cabang. Ini tidak mudah karena, perlu pemikiran komperhensif dan waktu yang panjang. Kembali lagi bahwa sementara ini pimpinan-pimpinan cabang itu juga tidak idealis, banyak yang pragmatis dalam memimpin NU. Sudahlah, kalaupun ada konferensi reformasi, kalau di sana-sini rebutan, apa idealnya ia menjadi pemimpin NU.

Apa upaya strategis untuk mengembalikan idelisme pengurus-pengurus NU dari tingkatan yang paling bawah hingga Pengurus Besar?

Saya kembali lagi pada masalah kaderisasi, regenerasi. Katakanlah pengurus lama itu anggap sudah selesai. Saya tidak sanggup untuk membalikkan pikiran kader-kader lama. Sudah berkali-kali saya upayakan sejak menjadi Rais Aam. Saya mendatangi seluruh orang Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tidak ada yang ketinggalan, mulai dari Banten hingga Banyuwangi tidak ketinggalan. Di luar Jawa saya datangi seluruh provinsi untuk memasarkan khittah NU. Tidak dengan ceramah monolog, tapi dialog. Saya tidak mau ceramah monolog, karena orang mungkin mantuk-mantuk tapi tidak mengerti. Saya ingin mengetahui komentar mereka. Nah, itu loh suara mereka di luar sana.

Selama Kiai menjadi Rais Aam, apa yang bisa diceritakan kepada generasi muda?

Sebenarnya banyak pengalaman saya. Saya merasakan demikian besar dan luasnya pola hidup dan pola pikir warga NU. Tampaknya waktu itu pola pikirnya satu, tapi setelah menjadi Rais Aam saya baru tahu ternyata beragam. Bahkan mungkin bisa diistilahkan ada polarisasi, tapi saya tidak mengatakan seperti itu.

Polarisasi?

Ada dua pengertian polarisasi. Polarisasi memperkaya dan bisa polarisasi ekstrim. Nah, saya khawatir dengan polarisasi ekstrim.

Di NU yang mana, Kiai?

Tidak ekstrim. Tapi tidak bisa dikatakan memperkaya. Saya tidak mengada-ngada. Saya ngomong yang riil. Kalau saya nggak mampu saya bilang nggak mampu, sebab ini bukan pekerjaan yang mudah.

Situasi seperti apa yang dialami selama menjadi Rais Aam, yang bisa dibagi-bagi dan kemudian bisa diteruskan oleh kader kita?

Bagi saya, sepanjang kita masih berpegang teguh kepada ajaran Aswaja. Itu saja. Kalau ini sudah tidak dipertahankan, itu sudah fatal. Itu yang saya anggap prinsip selama menjadi Rais Aam.

Bagaimana mengamalkan Aswaja?

Tentu melalui perbagai macam pendekatan, pendekatan dialog, pendekatan pendidikan, pendekatan perilaku dan sikap.

Banyak orang menilai NU di zaman reformasi ini seperti toserba?

Tergantung dari mana melihat. Apanya yang serba ada? Kalau melihat dari generasinya memang sudah campur baur tidak karuan.

Dari pemikiran akidah dan politiknya misalnya?

Pemikiran juga seperti itu. Kembali pada persoalan proses demokratisasi pemikiran tadi, itu sudah terkontaminasi.

Demokrasi itu menghambat ya?

Bukan menghambat sepanjang kita masih mampu. Kan bisa diarahkan.

Kiai, minta nasehat untuk generasi muda.

Ya itu tadi, ke depan pasti ada perubahan. Dan sudah pasti regenerasi dilakukan. Jadi, tolonglah generasi-generasi muda NU merspon betul perkembangan NU secara internal. Demikian juga perkembangan masyarakat secara eksternal dikaitkan dengan perkembangan NU ke depan. Hal-hal semacam ini harus didiskusikan di internal anak muda sajalah. Saya lebih senang anakmuda karena masa depan itu bukan milik saya. Ke depan Anda-anda yang akan berperan.

Diskusi-diskusi anak-anak muda NU sering dinilai rombongan liar, Kiai?

Sepanjang untuk perkembangan NU menurut saya bukan rombongan liar.

Apapun diskusinya?

Sepanjang kepentingan NU dan betul-betul untuk perkembangan NU. Jangan membahas NU yang sekarang. Yang penting bagaimana NU di masa mendatang. Terkadang orang-orang juga kelewatan. Mereka menyoroti pimpinan yang sekarang, siapa yang tidak tersinggung. Belum tahu permasalahan NU sudah menyoroti pimpinan NU. Akui saja itu, masih ada yang begitu. Sepanjang diskusi itu untuk kepentingan NU ke depan, ini memang milik mereka kok. Ke depan, perjalanan sejarah milik Anda. Begitu menurut saya.

Yang membedakan NU sepuluh tahun terakhir ini dibandingkan sebelumnya apa?

Tidak ada. Saya jujur saja. Apa yang harus saya banggakan? Tidak ada.

Perkembangan yang perlu dilanjutkan generasi muda?

Tidak ada, ya masih standar-standar saja. Saya akui saja, saya tidak neko-neko kok. Meskipun orang luar NU melihat perkembangan dibandangkan dengan zaman dulu, itu komentar pribadi saja.

Apa yang harus dilakukan agar NU konsisten dalam berjuang?

Ya, Aswaja. Konsep aswaja itu merakyat.

Soalnya terlalu banyak kelompok lain yang mengaku Aswaja?

Ya Aswaja kita, Aswaja NU. Biar dia mengaku Aswaja, silakan saja. Memang Aswaja itu bukan hanyak klaim NU. Ya kalau terpaksa, katakan saja Aswaja ala NU. Aswaja ala NU itu merupakan ajaran yang diwarisi dan sudah diasah terus menerus di pesantren. Jadi kelompok-kelompok yang anti NKRI dan semacamnya itu harus dilawan dengan itu. Mereka juga tidak berani dialog kok. Dialog itu jalur mentok. Kenyataannya, dialog bukan membuat mereka untuk sadar. Berkali-kali dilakukan dialog, tapi masih kembali lagi. Itu namanya orang ngotot. Orang seperti itu kalau dilayani terus bisa membuang-buang waktu. Saya malas melayani seperti itu.

NU salah satu elemen besar di Indonesia. Apa yang seharusnya NU berikan dalam konteks negara saat ini?

Konsep mempertahankan NKRI (secara Islam, red.) itu NU yang punya, yang lain belum. Dan NU sudah berjuang untuk itu, dan konsisten mempertahankannya sampai sekarang. Jadi perjuangan NU jangan dianggap remeh. NU merasa ikut berupaya, merasa ikut bersungguh-sungguh. Kiai sepuh-sepuh itu dulu bergerilya memperjuangkan kemerdekaan. Saya saja ikut bergerilya. Jadi seusia saya dulu ikut bergerilya. Bapak saya ditahan oleh Belanda sampai meninggal di penjara Ambarawa Semrang garagara memperjuangkan hak kemerdekaan.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda