SIKAP
3T + 1A dan DUNIA AKADEMIK
Fenomena
pengusiran paksa warga sekolah SMK Negeri 9 Bandarlampung oleh Kepala Dinas
Pendidikan Kota Bandarlampung, Suhendar Zuber, pada hari pertama masuk sekolah
Senin, 18 Juli lalu adalah salah satu pertanda bahwa karakter bangsa kian
memburuk. Sosok yang diharapkan menjadi panutan dunia pendidikan di sebuah kota
besar ini, justru malah menunjukkan sikap arogansinya di lingkungan akademik.
Belum
lagi seorang Pak Guru malang di Sidoarjo, Jawa Timur yang harus duduk di kursi
pesakitan gara-gara dilaporkan muridnya karena hal sepele, dicubit. Siswa itu
kemudian hari fotonya yang tengah menunjukkan memar di tangan menjadi viral di
dunia maya.
Satu
contoh lagi, cekcok pasal skripsi eh
mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Sumatera Utara tega melukai leher dan
menebas tangan dosennya hingga tewas. Korban yang merupakan dosen pembimbing
pelaku pada Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mengaku dendam karena selalu
dimarahi.
Melihat
tiga contoh fenomena di atas, lantas apa yang harus diperbaiki di dunia
akademik, baik sekolah maupun perguruan tinggi? Paling tidak dapat menimbulkan
rasa hormat dan mengembalikan kehormatan dunia akademik yang notabenenya adalah
sebagai tempat pembentukan karakter.
Tidak
cukup kita hanya menyimpulkan bahwa merosotnya nilai-nilai karakter anak bangsa
dikarenakan tontonan yang buruk, lingkungan yang tidak mendukung, dan lain sebagainya.
Karena perbaikan nilai-nilai karakter bangsa sejatinya harus dimulai dari
lingkungan akademik dengan menerapkan rumus sikap 3T+1A.
Apa itu 3T+1A?
3T+1A
sebenarnya adalah sikap kemasyarakatan Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah yang terdiri dari Tawasuth (lurus/tengah), Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang),
dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah
keburukan).
Saya
berpendapat sikap 3T+1A ini mampu menjadikan generasi penerus bangsa sesuai
yang diharpkan yakni anak bangsa yang memiliki karakter tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, dinamis, yang semuanya dijiwai oleh iman
dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Sedini
mungkin pelajar/mahasiswa harus ditanamkan sikap Tawasuth. Kaitannya dengan akademik, sikap Tawasuth mampu menjadikan
pelajar/mahasiswa tidak mudah terjebak oleh sikap ekstrimis dan sekular serta
menjadi ”penawar” pelajar/mahasiswa lainnya yang mungkin tidak sadar ikut dalam
paham-paham tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah: 143).
Sedini
mungkin pelajar/mahasiswa harus ditanamkan sikap Tasamuh. Keragaman merupakan realitas yang tidak dapat dihindari.
Oleh karena itu, kaitan
sikap Tasamuh dengan dunia akademik menjadikan
pelajar/mahasiswa memiliki rasa toleran terhadap perbedaan, baik agama,
pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan
lain.
Pelajar/mahasiswa
sejatinya berada pada usia pencarian jati diri. Apapun pilihan yang dijatuhkan
di masa mudanya, masa depan lah yang akan menjadi taruhannya. Untuk itu, sikap Tawazun juga harus ditanamkan. Tawazun adalah sikap berimbang dalam
melakukan pertimbangan-pertimbangan. Sikap Tawazun
membawa seseorang tidak terpolarisasi
kepada ekstrim kanan (fundamentalime) dan ekstrim kiri (liberalisme).
Setelah sikap 3T diterapkan, maka sebagai
penyempurna sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
Insya Allah menjadikan generasi penerus bangsa mahasiswa ataupun pelajar selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan
baik, berguna dan bermanfaat bagi sesama, serta menolak dan mencegah semua hal
yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Tentunya
sikap-sikap di atas haruslah berbekal ilmu, kesabaran, dan lemah lembut. Waullahualam. (NAUFAL A. CAYA)