Biografi K.H. Abdurrahman Wahid - KMNU-UNILA.Org : Menebar Dakwah Ahlussunnah Waljama'ah Annahdliyah

Saturday, August 19, 2017

Biografi K.H. Abdurrahman Wahid



“Titip aspirasi kepada orang lain saja bisa, kenapa kita harus membuat wadah sendiri untuk menyalurkan aspirasi politik,” katanya setelah Nahdlatul Ulama dalam muktamarnya yang ke-27, 1984, memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926. Artinya, NU meninggalkan politik praktis. Namun pada Rabu, 20 Oktober 1999, cucu KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU itu, terpilih menjadi presiden. Artinya, ia kembali ke kancah politik praktis.
Abdurrahman Wahid lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 4 Agustus 1940. Beliau lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940. Ibunya, yaitu Nyai Solichah dalam tahun-tahun pertama perkawinannya bisa membaca huruf Arab, tetapi tidak bisa membaca huruf latin. Pada akhirnya, pejabat catatan sipil setempat di masyarakat pedesaannya mencatat tanggal 4 Agustus sebagai tanggal lahir Gus Dur.
Abdurrahman Wahid adalah anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Sebagaimana kebanyakan dalam tradisi Muslim abangan di Jawa, yang sering menggunakan nama ayah setelah namanya sendiri. Sesuai dengan kebiasaan Arab sendiri, ia adalah Abdurrahman putra Wahid, sebagaimana ayahnya sendiri Wahid putra Hasyim. Namun demikian, sebagaimana kebiasaan orang Jawa, nama tersebut akhirnya mengalami perkembangan dan berbbeda denagn nama resminya.
Kehadiran anak bernama Abdurrahman Wahid ini sangat membahagiakan kedua orangtuanya, karena ia adalah anak laki-laki dan anak pertama. Ia dipenuhi oleh optimisme seorang ayah. Ini bisa terlihat dari pemberian nama Abdurrahman Ad Dakhil, terutama kata Ad Dakhil jelas merujuk dari nama pahlawan dari Dinasti Umayyah, yang secara harfiah berarti “Sang Penakluk”. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah peradaban Islam, tokoh Ad Dakhil adalah tokoh yang membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad.
Menurut sanak saudara Gus Dur yang lebih tua, Gus Dur adalah anak yang tumbuh subur dan tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, masa kecilnya nakal. Salah satu bukti kenakalannya adalah ketika ia belum berusia genap dua belas tahun, ia telah dua kali mengalami patah lengan akibat kegemarannya memanjat pohon apa saja. Pertama-tama lengannya patah karena dahan yang diinjaknya patah. Kemudian, ia hampir kehilangan tangannya.
Dalam beberapa kasus, anak-anak yang masa kecilnya nakal kebanyakan di masa dewasanya menunjukkan kecerdasan dan ketokohan, dan kenakalannya kemudian menghilang.  Dan kebanyakan orang Jawa lebih menyukai masa kecil anak itu nakal ketimbang masa kecilnya pendiam kemudian masa dewasanya yang nakal.
Proses belajar atau masa pendidikan Gus Dur di masa sekolah dasar dan lanjutan pertamanya adalah di sekolah-sekolah sekuler. Inilah yang membedakan dirinya degan kakek dan ayahnya yang tidak pernah mencicipi pendidikan sekuler, dan Gus Dur merupakan penanda generasi santri yang menerima pendidikan modern sejak awal.
Namun begitu, sebenarnya Gus Dur mengalami pendidikan santri atau pesantren dan religiusitas dari kedua orangtuanya. Ia belajar bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur’an dengan suara keras.
Pada masa kecil Gus Dur sudah berkenalan dengan dunia seni, baik dunia seni yang berada di pesantren, seperti barjanji, diba’, maupun hadrah. Ia juga berkenalan dengan musik Barat, yaitu musik klasik, terutama karya Beethoven, dari seorang teman bapaknya, Williem Iskandar Bueller. Gus Dur dengan dunia seninya yang sejak kecil sudah mengenal berbagai jenis musik baik dari pesantren, maupun dari musik barat yang klasik, tentunya memengaruhi bagaimana di kemudian hari Gus Dur menampilkan sosok dirinya yang pluralis.
Sebagaimana kakeknya Syekh Hasyim Asy’ari dan ayahnya Wahid Hasyim, yang selalu haus akan ilmu pengetahuan dan selalu merasa kurang dalam belajar ilmu pengetahuan, Gus Dur pun demikian. Untuk itu, ia melanjutkan studinya ke luar negeri, yaitu Kairo, Baghdad, dan kemudian Eropa. Ia menetapkan diri akan belajar dari kehidupan dan pengalamannya di Eropa. Dengan tinggal di Eropa, ia mempunyai kesempatan untuk mempelajari dari tangan pertama sifat masyarakat di Belanda, Jerman, dan Prancis. Ia juga berkesempatan untuk melakukan percakapan dan diskusi mengenai masyarakat dan pemikiran Barat di Eropa.
Harus diakui, kegagalannya untuk studi ke Eropa membuatnya dilanda kecewa. Untuk menghibur dirinya, ia pulang ke Jawa pada 4 Mei 1971, kemudian menata harapannya lagi agar bisa menuntut ilmu ke luar negeri. Namun, hal itu urung terjadi. Pada September 1971, Gus Dur dan Nuriyah melangsungkan pesta perkawinan dan kemudian tinggal di Jombang. Selanjutnya, Gus Dur berkeliling Jawa. Saat ia berkeliling mengunjungi pesantren di Jawa, beliau merasa terkejut melihat besarnya serangan terhadap sistem nilai tradisional pesantren. Disinilah ia mengurungkan niatnya studi ke luar negeri.
Masa perjuangan Gus Dur sebenarnya telah dimulai jauh sebelum ia menjadi ketua PBNU. Kesadaran atas organisasi pergerakan sudah dimulai Gus Dur ketika ia menjadi salah satu tokoh organisasi kemahasiswaan Indonesia yang berada di Mesir dan Baghdad. Pada masa inilah ia memerhatikan konteks gerakan nasionalisme, islamisme, dan konteks gerakan Islam radikal berkaitan dengan kapitalisme global.
Ketika pulang ke Indonesia, ia menerapkan semua ilmu yang diperolehnya. Apa yang diperjuangkan Gus Dur tidak lain adalah perjuangan kemanusiaan, yang terbungkus dalam demokrasi, pluralisme, dan mempertahankan nasionalisme.
Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Abdurrahman adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya Cina Indonesia, juga penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak diuntungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan akhir ini. Dengan kata lain, Abbdurrahman dipahami sebagai muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa  Abdurrahman itu orang yang bangga sebagai seorang muslim. Dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari itu, Abdurrahman adalah seorang tokoh spiritual, figur mistik yang dalam pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.
Gus Dur adalah sosok pejuang sejati, militan, pintar, dan penuh strategi. Pola perjuangan Gus Dur tidaklah monoton, andaikan ia pemain bola, ia bisa bermain cantik, mengatur fisik saat menyerang, saat bertahan untuk memperoleh kemenangan, dan selalu diselingi dengan tarian-tariannya sehingga penonton akan berdecak kagum, terhibur, dan menyatakan salut atas permainannya.
Tidak heran jika kematiannya menjadikan haru birunya rakyat Indonesia. Bukan hanya NU dan PKB saja yang memiliki Gus Dur, namun pemuka-pemuka agama Katolik dan Kristen juga merasakan hal itu. Kalau bukan seorang pejuang yang dekat dengan semua kalangan, tidak mungkin kepergiannya menjadikan kita merasa kehilangan, meneteskan air mata, walau mungkin kita bukan keluarganya, bukan NU, bukan juga PKB.
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga sering surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Selain beberapa kali ia mengalami serangan stroke, ia juga mengalami penyakit diabetes dan gangguan ginjal.
Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid, adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda