Pagi ini aku berjalan keluar
dengan langkah gontai. Sementara menghabiskan sarapanku, tertera nama Kak Kian
membuat panggilan telepon di layar ponselku.
“Halo,” sapaku.
“Halo. Mona. Ayuk berangkat
bareng,” ajaknya. Biasanya di jam-jam ini ia menghubungiku lewat BBM untuk
berangkat ke kampus bersama. Namun setelah masalah berat yang menimpa
hubunganku dengan Rion, aku enggan menggunakan BBM untuk sementara waktu. Ia
tahu aku dan Rion sudah bertunangan sejak aku masih semester 3 dan Rion
semester 7. Baru-baru ini mantan pacar Rion yang tak suka denganku meluncurkan
fitnah atas diriku sehingga membuat Rion gelap mata dan menjauhiku. Tak hanya
sampai di situ, Rion juga tak mau menerima penjelasanku dengan cara apapun.
Aku berhenti menggunakan BBM di
mana aku dan Rion sering bercengkrama di luar pertemuan. Kini, bagiku Rion
sudah tak ada artinya lagi setelah habis dipengaruhi oleh mantan pacarnya.
Kupikir lelaki seperti dia tak mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Dan
bagiku tak layak juga mempertahakan lelaki lemah seperti dia. Setelah hubungan
kami yang berjalan mulus selama 3 tahun dihitung sejak kami belum bertunangan,
aku sama sekali tak menyesal melepas cincin yang melingkar di jari manisku.
Kak Kian satu-satunya orang yang
paham akan keadaanku. Tak seperti teman-temanku kebanyakan yang sangat
meyayangkan berakhirnya hubunganku dengan keturunan pengusaha kaya, pemilk
wajah rupawan dan tubuh atletis. Ia justru mensupportku untuk menjalani
kuliahku dengan benar, tidak memikirkan terlalu larut permasalahan yang tak
biasa ini. Aku sendiri baru mengenalnya beberapa bulan lalu namun kedekatan
yang terjalin antara kami sudah seperti bersahabat sejak kecil.
“Iya. Tunggu,” jawabku.
“Aku ke rumahmu 5 menit lagi,”
ujarnya sembari menutup telepon.
Tidak biasanya Kak Kian menutup
telepon tidak sopan begitu. Biasanya ia malah sengaja berlama-lama ngobrol di
telepon, membicarakan hal yang tidak penting. Kupikir ia sedang terburu-buru.
Yah. Semoga saja ia tak terjebak kereta yang melintas ketika menuju rumahku
karena hal itu akan memakan waktu sekitar 5 menit.
Suara klakson motor Kak Kian
menggema di pagar rumahku. Tepat sekali dengan sesuap nasi terakhir yang baru
saja kutelan. Aku bergegas naik ke motor begitu melihatnya bermain ponsel di
depan pagar.
“Yuk, jalan,” ucapku seperti
biasa memberi komando setelah siap.
“Mana helm kamu?” tanyanya dengan
kening berkerut.
“Loh memangnya mau ke mana?” aku
balik bertanya karena jarak rumahku dengan kampus yang bisa ditempuh lewat
jalan belakang biasanya aku tak perlu memakai helm.
“Adek. . . Kamu harus pakai helm.
Soalnya kita nggak ke kampus,” ujarnya.
“Terus kita mau ke mana?”
“Ambil aja helm kamu nanti kita
pergi. Kamu nggak akan nyesel kok,” sahutnya.
“Ih bolos nih ceritanya?” tanyaku
terkesan polos sebagai mahasiswa semester 5.
Tanpa menunggu jawabannya, aku
yang sebetulnya tak suka dengan mata kuliah hari ini segera mengambil helm di
ruang tengah.
Memang tak menyesal. Sungguh tak
menyesal dengan kelakuan Kak Kian membawaku mengunjungi panti asuhan. Awalnya
kupikir ia hanya akan membawaku mengunjungi bukit atau tempat-tempat dengan
ketinggian untuk memuaskan hobinya sebagai seorang fotografer majalah kampus.
Kali ini lain dari biasanya.
Yang tak kusangka dari seorang
lelaki jangkung yang kujadikan kakak sejak awal perjumpaanku dengannya ini
disapa hampir seluruh penghuni panti dan disalami dengan ramah. Kupikir kakakku
ini sudah sering menyumbang ke panti ini sehingga wajar jika mereka mengenalnya
dengan baik.
“Seberapa sering Kakak kemari?”
tanyaku di sela-sela berjalan ke sekeliling panti.
Ia memanyunkan bibirnya sejenak
sembari mengira-ngira seberapa sering ia menunjungi tempat mulia ini. “Sering.
Bisa seminggu 3 kali, Dek,” jawabnya. “Kamu nggak nyesel kan aku bawa ke sini?”
“Enggak kok, Kak. Aku senang bisa
berbaur dengan mereka. Kapan Kakak kesininya? Kenapa baru ngajak aku?”
“Emmm. Oh itu, hehe,” gumamnya
sambil cengengesan. “Aku cuma mampir lewat aja kok kalo habis latihan bola.”
Wah. Kurasa kakakku ini selain
banyakk uang juga dermawan. Rupanya juga ia tipe laki-laki yang sudah sulit ditemui di
era ini. namun ketika kupuji kebaikannya ia menyangkal, “Siapa bilang aku ini
banyak uang? Mengunjungi panti asuhan nggak selamanya nyumbang, Adekku. Berbagi
cerita dengan mereka, berbagi permen dan biskuit, main bareng juga nggak
masalah,” tukasnya singkat.
Demi mendengar penuturannya
barusan hatiku terbuka. Betapa selama ini aku tak pernah sekalipun berbagi
dengan anak-anak seusia mereka. Yang kutahu hanyalah berbagi perasaan dengan
teman curhatku atau dengan pengguna BBM lainnya. Dan hal itu sama sekali tak
membawa manfaat bagiku. Tak seperti Kak Kian yang tak pernah merasa sedih atau
menampakkan kesedihan karena kesedihan yang melandanya terhapus dengan
sendirinya setelah bercengkerama dan bermain dengan anak-anak panti. Sebuah
pelajaran amat berharga yang kudapat dai mengorbankan 2 jam waktu kuliahku.
Tanpa membolos seperti kali ini mungkin aku tak akan merasakan sentuhan cinta
setelah putus dengan Rion. Di sini aku menemukan cinta. Cinta antar sesama manusia
yang tak pernah kuberikan sebelumnya.
“Kak,” tegurku sesaat sebelum
meninggalkan tempat yang penuh kasih sayang ini.
Ia menengok ke arahku. Melihat
senyumku begitu sumringah, ia ikut tersenyum. Aku tak perlu menunggu
pertanyaannya. Segera saja aku memintanya mengajakku setiap ke sini. Dan ia
mengiyakannya meski harus menungguku dandan terlebih dahulu atau menunda
sedikit waktunya.
“Boleh saja,” jawabnya. “Asal
dengan satu syarat,” pintanya membuatku agak berkecil hati. Namun sejurus
kemudian ia kembali membuatku berbinar dan mengucap syukur sedalam-dalamnya,
“Syaratnya. . . Adekku si Mona ini nggak boleh mengharapkan apapun dari
kebaikan yang ia lakukan. Setuju?” bidiknya sembari mengajukan kelingking
kanannya untuk kujabat dengan kelungkingku.
Kelingking kami saling menggamit
dalam janji kelinci seperti yang dilakukan kebanyakan anak kecil dalam mengucap
janji persahabatan mereka.
Kurasa sudah satu semester
kulewati dengan ceria setelah seringkali berkunjung ke panti asuhan. Keadaan
psikologisku jauh lebih baik ketimbang saat-saat sebelum melupakan total
problemaku dengan Rion. Kini aku tahu rasanya hidup tanpa kasih sayang orang
tua, makan dengan menu seadanya, hidup dengan fasilitas yang juga seadanya.
Tapi aku bahagia menjadi bagian dari mereka. Seperti yang Kak Kian katakan,
berbagi permen, berbagi biskuit, berbagi mimpi pun tak jadi masalah ketika yang
kita bagi bermanfaat bagi orang lain.
Aku pun mengerti di kemudian hari
setelah sekitar setahun tak berpacaran dan melakukan sedikit demi sedikit
kebaikan yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Rion, seorang pemuda tampan yang
dulu mengisi hatiku kini hilang sudah semua bayangnya tanpa sisa. Ia yang
kupikir dulu akan menjadi imamku, menuntunku menjadi pribadi yang lebih baik
justru sama sekali tak ada perubahan dalam hidupku selama aku mengenalnya. Lain
halnya dengan Kak Kian, seorang pemuda biasa saja yang baru kukeenal beberapa
bulan lalu selalu memberiku pelajaran berharga dari setiap peristiwa yang kami
lalui. Kurasa, aku tak akan rela kehilangan Kak Kian seperti aku kehilangan
Rion. Kehilangan Rion mudah bagiku namun kehilangan Kak Kian tak terbayang akan
seperti apa jadinya. Seorang guru terbaik yang terpaut usia tak begitu jauh
dariku telah mengajarkanku banyak hal dari sebuah kesederhanaan.
Kini aku semakin pandai menabung.
Awalnya uang yang kutabung hanya ingin kugunakan untuk membelikan jajanan bagi
anak-anak panti asuhan. Namun orangtuaku yang mendukung penuh akan kebiasaanku
memberikan sejumlah investasi untuk ikut mencerdaskan mereka. Kini aku penuh
dengan ucapan syukur setiap harinya. Kubelikan buku-buku sesuai usia mereka.
Kubimbing mereka di waktu luang untuk belajar berkreasi dengan sampah-sampah
kertas dan plastik daur ulang. Melihat mereka tumbuh dan berkembang menjadikan
kebahagiaanku berlipat ganda. Aku merasakan kehangatan yang terpancar dari
hubuganku dengan para bintang kecil itu.
“Mereka sudah menganggapmu
seperti ibu mereka sendiri, Mona,” ucap Kak Kian suatu hari. Aku mengiyakan
dalam hati karena mereka juga sudah kuanggap seperti anak sendiri meski gadis
seusiaku belum pantas memiliki anak.
“Kakak juga,” sahutku singkat.
“Kakak yang lebih dulu menjadi orang tua mereka. Makasih ya, sudah mengajakku
dalam kebaikan, aku nggak pernah menyesalkan kejadian waktu kita membolos di
hari itu,” ujarku mengenang.
Tiba-tiba entah dari mana
ceritanya muncul seorang anak dari belakang kami berdua dan mendehem, “Kakak
Kian dan Kakak Mona pasangan yang serasi. Febri sayang Kak Kian dan Kak Mona.”
Kemudian bocah umuran 10 tahun itu melebarkan tangannya meminta dipeluk. Kami
pun memeluknya seperti anak sendiri.
Entah mengapa baru kali ini ada
perasaan berbeda saat tak sengaja tanganku dan tangan Kak Kian bersentuhan.
Selama kami jalan berdua, tak pernah sekalipun kami bersentuhan meski selalu
saja berboncengan dengan motor yang sama. Tatapan mata Kak Kian yang berbeda
juga baru kurasakan kali ini. aku tak tahu apa yang berbeda itu dan aku tak mau
mengungkitnya.
Tak ada yang salah dengan
keputusanku memilih menjalani hidup tanpa pacaran karena sejak aku tak menjalin
hubungan fana itu, kehidupanku menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Sebagai seorang single ladies
yang sedang mencari jati diri, saya punya beberapa tips agar para
jomblowan-jomblowati tidak merasa kesepian setelah berpisah dengan sang pacar.
1.
Niatkan diri untuk
menjomblo semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah swt.
2.
Yakinlah bahwa Allah sudah
mematenkan jodohmu jauh-jauh hari sebelum kamu dilahirkan.
3.
Hilangkan bayang-bayang
mantan kamu dengan berusaha menyibukkan diri. Tambah waktu belajarmu, tambah
kegiatan ekskul dan organisasimu, dan biarkan imajinasimu berkembang.
4.
Pahami bahwa status pacaran
bukanlah hal yang mulia di mata Allah, justru pacaran adalah biangnya dosa.
5.
Jangan hiraukan pemandangan
di sekelilingmu yang disana-sini banyak pemuda sedang berpacaran.
6.
Memantaskan diri. Ingat
bahwa orang baik akan berjodoh dengan oang baik, begitupun sebaliknya.
7.
Siapkan mental melepas
status jomblomu dengan pilihan terbaikmu. Jangan terlalu nyaman dengan
kesendirian karena ada saatnya hukum menikah menjadi wajib.
Siapkan dirimu menuju pacaran yang diridhoi Allah. Yaitu pacaran setelah
menikah.(Molimolart)