Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (1871-1947) adalah sosok ulama’ yang dikenal sebagai ahli hadis. Kepakarannya di bidang hadis diakui para ulama, bahkan sampai pada taraf dunia internasional. Karena itu, salah satu kebiasaan Kiai Hasyim di bulan Ramadan juga terkait dengan hadis.
Membaca kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim menjadi kebiasaan khusus Kiai Hasyim yang menarik publik dunia. Dalam buku “Profil Pesantren Tebuireng” dijelaskan, pengajian itu dimulai dari 15 Sya’ban hingga 27 Ramadan. Kurang lebih 40 hari santri-santri Tebuireng dan santri-santri kalong dari berbagai tempat menyimak penjelasan Kiai Hasyim tentang hadis dari dua kitab hadis paling kredibel itu.
Menariknya kebiasaan mbalah (ngaji) Shahih Bukhori dan Shahih Muslim itu, banyak sekali ulama yang menyediakan waktu khusus untuk ngaji di Tebuireng. Salah satu guru Kiai Hasyim yang sangat dihormati, Syaikhona Kholil Bangkalan sampai dikisahkan datang ke Tebuireng untuk ngaji kepada murid yang sangat dicintainya itu. Dalam sumber lain juga di antara guru Kiai Hasyim yang ikut pengajian Ramadan itu ada Kiai Khozin Siwalan Panji Sidoarjo.
Bukan saja Syaikhona Kholil dan Kiai Khozin, banyak ulama-ulama dari berbagai pesantren di Nusantara juga datang ke Tebuireng. Mbah Maksum Lasem, teman perjuangan Kiai Hasyim dalam mendirikan NU, juga datang ke Tebuireng untuk ngaji kitab Shohih Bukhori dan Shahih Muslim kepada Kiai Hasyim.
Ketika membaca kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim, banyak yang mengisahkan bahwa Kiai Hasyim begitu hafal isi kitab itu, sangat mengagumkan. Kiai Hasyim memang membawa kitab Shohih Bukhori, tapi beliau hanya memegangnya saja, karena beliau hafal kitab itu. Ketika membaca, Kiai Hasyim tidak menemukan kesulitan sedikitpun. Seolah Kiai Hasyim membaca kitab karyanya sendiri.
Iklan Tebuireng Online
Banyak kesaksian tokoh ihwal pengajian Kiai Hasyim atas kitab Shohih Bukhori dan Shohih Muslim. Salah satunya dikisahkan oleh mendiang Menteri Agama RI, KH Saifuddin Zuhri, “Orang yang pernah melihat sendiri, cara Hadratussyaikh membaca al Bukhari mengatakan bahwa beliau sebenarnya telah hafal seluruh isi kitab ini. Seolah-olah sedang membaca kitab karangannya sendiri.” (Zuhri, 1974:152).
Kesaksian yang sama juga ditegaskan oleh sejarawan Aboebakar Atjeh dalam bukunya “Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim”, “Ia selama bulan puasa memberi kuliah istimewa mengenai ilmu hadis karangan Al-Bukhari dan Muslim. Kedua kitab hadis yang penting ini harus khatam dalam sebulan puasa itu dan oleh karena itu, jadilah bulan ini suatu bulan yang penting bagi kiai-kiai bekas muridnya di seluruh Jawa. Dalam bulan puasa, bekas murid-muridnya yang sudah memimpin pesantren di mana-mana, biasanya memerlukan datang tetirah ke Tebuireng, tidak saja untuk melanjutkan hubungan silaturahmi dengan gurunya, tetapi juga untuk mengikuti seluruh kuliah istimewa mengenai hadis al Bukhari dan Muslim guna mengambil berkah atau tabaruk,” (Atjeh, 105-106).
Ramadan di Tebuireng begitu ramai, melebihi keramaian bulan-bulan lainnya. Tebuireng menjadi magnet Nusantara, lantaran kebiasaan Kiai Hasyim membaca kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim yang selalu diburu para kiai dan para santri. Di samping itu, sosok Kiai Hasyim yang menjadi tokoh sentral umat Islam Indonesia juga menjadi faktor khusus, sehingga Ramadan selain ngaji, juga ajang silaturrahim jaringan santri Nusantara.
Pergerakan Kiai Hasyim dalam memimpin NU menjadikan sosok Kiai Hasyim menjadi perhatian para pejabat kolonial. Banyaknya santri yang datang ke Tebuireng di bulan Ramadan juga masuk “radar” kaum kolonial dalam “memata-matai” gerakan Tebuireng yang efeknya bukan saja lokal, tetapi nasional dan global.
Banyak ulama besar yang lahir dari Tebuireng. Para ulama’ itu dibasuh Kiai Hasyim dengan ilmu yang sambung langsung kepada Nabi Muhammad, juga dibasuh dengan air mata ruhani yang juga bersumber langsung kepada Nabi Muhammad. Inilah yang menjadikan magnet Tebuireng di bulan Ramadan selalu menarik.
Kebiasaan ngaji kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim inilah yang terus dilestarikan Tebuireng sampai sekarang. Setelah Kiai Hasyim wafat, pengajian dua kitab itu dilanjutkan santri sekaligus menantu beliau, Kiai Idris Kamali dan salah satu santri kesayangan beliau, KH Syansuri Badawi. Saat ini dilanjutkan oleh KH Habib Ahmad yang mendapatkan sanad keilmuan hadis dari Kiai Syansuri.
Tidak sedikit juga para alumni Tebuireng yang terus mengabadikan pengajian kitab hadis di bulan Ramadan. Semua itu dalam rangka sambung sanad dengan Hardatussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang rutin mengkaji kitab hadis di bulan Ramadan, khususnya kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim.