Oleh : Zaid el-Faqir (TG)
Berbicara soal dakwah, dakwah merupakan suatu masalah yang pasti
dibutuhkan umat dalam membenahi akhlaq dan perilaku umat. Tak sebatas itu,
dakwah juga merupakan sarana yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk
mengajak orang lain, khususnya umat non-islam untuk bersama-sama menegakkan
Kalimatullah di atas muka bumi ini. Dalam berdakwah pun tidak hanya sebatas
mengajak orang lain (objek dakwah) untuk berbuat amal sholeh, namun juga
membutuhkan kebersihan hati dan akhlaqul karimah untuk menunjang keberhasilan
dalam berdakwah.
Dakwah, secara bahasa merupakan Masdar dari kata kerja دَعَا ـ يَدْعُوْ
ـ دَعْوَةً yang memiliki dua arti, pertama adalah Nida’
(panggilan) dan yang kedua adalah Su’al (permohonan). Dalam memaknai
kata Nida’, dapat dilihat dari penggalan ayat 125 surah An-Nahl, yaitu:
أُدْعُ إِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ...
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik...”
Kemudian,
secara tidak langsung ayat di atas memberikan pengertian bahwa dakwah memiliki
hukum fardlu ‘ain bagi setiap muslim.
Namun demikian, perintah ud’u pada ayat di atas dibatasi oleh Firman
Allah swt dalam surah Ali ‘Imron ayat 110 yang berbunyi:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
“Kamu (umat
Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada
Allah..”
Menurut
sebagian Ulama’, kata kuntum dalam ayat tersebut merupakan pembatasan
bahwa perintah berdakwah adalah fardlu kifayah.
Selanjutnya,
kata dakwah yang berarti su’al / permohonan dapat dilihat pada Firman
Allah swt pada surah Al-Baqoroh ayat 183 :
..أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“...Aku
kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku. Hendaklah
mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar memperoleh
kebenaran.”
Dari
pengertian di atas, secara terminology dakwah dapat diartikan sebagai suatu
usaha untuk mengajak orang lain melakukan apa yang kita inginkan kepadanya.
Dakwah lebih menekankan objeknya kepada non-muslim, sedangkan berdakwah ke
sesama muslim lebih dikenal dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar.
Kemudian,
setelah bebarapa pengertian di atas dipaparkan, tentu dalam berdakwah memiliki
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan dakwah ini, misalnya dalam
berdakwah tidak dapat dilakukan di sembarang tempat dan sembarang perkataan,
namun harus melihat situasi dan kondisi saat berdakwah. Hal ini seperti apa
yang dikatakan oleh ulama’ bahwa “Kullu maqomin maqolun, wa kullu maqolin
maqomun”, yang berarti “Setiap tempat ada pembicaraannya, dan setiap
pembicaraan ada tempatnya”. Itu berarti setiap Da’i harus menguasai
sasaran dakwah, metode yang digunakan dan lain sebagainya melihat situasi dan
kondisi yang ada.
Dalam
berdakwah pun memiliki syarat atau pondasi dasar yang harus dipenuhi oleh
setiap pendakwah. Para ulama’ telah merumuskan dua dasar utama yang harus
dipenuhi bagi seorang pendakwah, yang pertama adalah ilmu dan yang kedua
adalah tadzkiyatun nafs (penyucian jiwa). Kedua syarat tersebut harus
dipenuhi oleh seorang pendakwah agar tujuan ia berdakwah dapat tercapai,
meskipun dalam pelaksanaannya pun
terdapat banyak sekali hal / syarat yang harus dipenuhi pula sebagai
penunjang pelaksanaan dalam berdakwah
maupun syarat bagi pendakwah itu sendiri. Namun, kedua syarat utama di atas
harus ada bagi seorang pendakwah, jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi
oleh pendakwah, maka dakwah yang dilakukannya akan pincang.
Misalkan,
secara sederhana dapat diibaratkan jika seseorang tersebut memiliki ilmu yang
banyak dan cukup, namun dalam hati dan jiwanya masih terdapat banyak penyakit
maka objek dakwah cenderung akan tidak memiliki kepercayaan terhadapnya.
Sebaliknya, jika seseorang memiliki hati yang bersih dan baik, namun ia tidak
memiliki ilmu yang cukup maka apa yang disampaikannya pun akan tidak dapat
dipertanggung jawabkan keshahihannya. Sehingga, dua syarat di atas secara
otomatis membentuk pribadi pendakwah itu sendiri sebagai orang yang mumpuni dan
pantas untuk dijadikan panutan.
“Lisanul
hal afshohu min lisanil lisan”. Merupakan sebuah istilah yang sangat
dipegang teguh oleh seorang pendakwah, bahwa fasihnya / baiknya ahwal / keadaan
diri itu lebih “mengena” daripada fasihnya lisan dalam mengucapkan sebuah
nasihat. Sejarah pun telah membuktikan bahwa fasihnya ahwal merupakan kunci
kesuksesan dalam melaksanakan misi sebuah dakwah. Misalnya saja “Wali-Songo”,
mereka merupakan sekelompok ulama yang tidak hanya mengandalkan fasihnya lisan
dengan segudang ilmu yang dimilikinya, namun mereka juga menggunakan fasihnya
ahwal (red: tadzkiyatun nafs / tasawwuf) dalam melakukan dakwahnya. Terbukti,
dengan hadirnya para wali tersebut, mereka berhasil mengislamisasikan bumi
Nusantara dengan waktu yang relatif singkat.
Penggalan di
atas sejalan dengan apa yang tertera dalam Al-Qur’an Surah Muhammad ayat 19,
yaitu:
فَاعْلَمْ أَنَّهٗ لَاإِلٰهَ إِلَّااللهُ وَاسْتَغْفِرْ
لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَاللهُ يَعْلَمُ مُقَلِّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ
“Maka
ketahuilah (dengan ilmu) bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah,
dan mohonlah ampunan (tadzkiyatun nafs) atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang
mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahuai tenmpat usaha dan tempat
tinggalmnu.”
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa keberhasilan misi sebuah dakwah adalah dengan ilmu dan
penyucian jiwa. Karena dengan ilmu (nur), pendakwah akan mengetahui
dengan ilmu yang dimilikinya apa-apa yang haq dan apa-apa yang batil. Dan
dengan kesucian jiwa (The Power of Qolbu) yang dimilikinya tersebut,
dakwah akan sampai ke dalam hati objek dakwah.
Lalu yang
harus menjadi perhatian para kader pendakwah, khususnya kader NU, terdapat
empat hal yang menjadi falsafah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Ta’adul,
Tasamuh, Tawazun dan Tawasuth. Ta’adul, hendaknya dakwah dilakukan
dengan adil dan profesional, tidak ada pengkotak-kotakan atau pun
ketidaktuntasan dalam melaukan dakwah. Tasamuh, dakwah yang dilakukan
penuh dengan rasa toleransi yang membawa kedamaian dan ketegangan. Tawazun, kader
pendakwah NU harus bisa mengimbangi segala keadaan umat, ketika di dalam umat
terjadi keberat-sebelahan, maka pendakwah harus bisa menggiring umat untuk
menjadi seimbang lagi, jika tidak maka umat akan “kocar-kacir”. Terakhir adalah
Tawasuth, seorang pendakwah tidak memihak ke sebelah kanan maupun kiri.
Lebih jauh
lagi, Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyyah memiliki salah satu
prinsip bahwa bedakwah haruslah sesuai dengan adat (urf) wilayah dakwah,
inilah yang sering kita dengar dengan “Islam Nusantara”, dimana
kebudayaan dan adat istiadat nusantara digunakan sebagai media dalam berdakwah,
sehingga dakwah dapat diterima masyarakat dengan baik dan damai.
Terakhir,
penulis berharap secarik catatan kecil ini dapat menjadi bahan renungan,
khususnya bagi para kader muda Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) yang
kini tengah menghadapi banyak tantangan dalam berdakwah. Semoga apa yang kita
lakukan selalu mendapat bimbingan, lindungan dan keberkahan dari Allah swt.
Aamiiin..
Wallahu
Subhanahu Wata’ala A’lam,,