Secara umum, untuk mendidik kaum muslimin terutama para kader penerus dan penyiar Islam, terbentuklah pesantren yang terdiri dari kiai dan beberapa santri. Minat besar kaum muslimin untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman keagamaannya kian menambah pesat berkembangnya pesantren di tanah air. Apalagi tidak jarang ada pesantren yang memberikan fasilitas secara cuma-cuma kepada santrinya, termasuk biaya hidup selama belajar.
Dulu, ada anggapan yang cukup miris untuk pesantren dimana orang-orang menganggap bahwa pesantren merupakan tempat “buangan” bagi anak-anak yang “berpenyakit” baik secara moral ataupun psikis. Para orang tua yang sudah kewalahan menghadapi anak-anak mereka, memilih untuk mengirim anaknya ke pesantren dengan alasan untuk memperbaiki akhlaknya. Memang benar bahwa pesantren adalah pusatnya belajar agama sebagai dasar kehidupan seseorang, tetapi bukan berarti para orang tua dapat mengalihkan tanggung jawab mereka kepada pesantren. Ada juga orang tua yang mengirim anaknya ke pesantren karena anak tersebut sudah tidak diterima di sekolah-sekolah formal manapun. Seolah-olah pesantren adalah tempat tujuan terakhir untuk menempuh pendidikan setelah tidak ada sekolah formal yang bisa dimasuki.
Padahal pada hakikatnya seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa pesantren merupakan lembaga untuk mendidik kaum muslimin terutama kader-kader penerus dan penyiar Islam. Artinya, semua hal yang diajarkan di pesantren merupakan prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan bekal dalam menjalani kehidupan dan menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Dalam sejarahnya, pesantren benar-benar menjadi kawah candradimuka bagi terciptanya kader potensial penyebar agama Islam di tanah air. Mungkin pesantren mengadopsi tradisi pendidikan pra Islam “begawan” dan “cantrik” yang menjadikan para kiai dan santri berbaur dalam sistem pendidikan yang ada. Inilah yang disebut pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Tuntutan zaman yang sedemikian kompleks, juga menuntut pesantren untuk merespons “iring-iringan” perkembangan zaman yang ada. Tuntutan para santri yang menginginkan jenjang pendidikan formal juga dipenuhi. Karenanya, banyak sekali bermunculan pesantren-pesantren yang juga memiliki lembaga pendidikan formal, termasuk beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang banyak dijumpai di sekolah-sekolah formal seperti, taekwondo, karate, marching band, dan lain-lain. Dengan demikian, pada perkembangan selanjutnya pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga menjadi lembaga perjuangan. Dimana semua urusan umat difikirkan, dianalisa, dan dirancang serta dikomando oleh kiai pengasuh pesantren.
Lebih dari itu, pesantren juga berperan besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat, dengan memberikan pelayanan kepada umat dalam berbagai kebutuhan hidupnya, baik di bidang jasmani maupun rohani, begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan urusan material dan spiritual. Sampai pada akhirnya pesantren dapat disebut sebagai lembaga pelayanan masyarakat. Maka kalau sampai ada pesantren yang tidak melayani masyarakat, atau bahkan minta dilayani, maka ia telah mengingkari tugasnya.
Tantangan pesantren
Dalam perkembangannya, dengan mengemban tiga fungsi tersebut (lembaga pendidikan, lembaga perjuangan, dan lembaga pelayanan masyarakat), selama lebih dari seratus tahun pesantren telah menjadi “kiblat masyarakat Islam di Indonesia”. Tentunya pesantren juga tidak luput dari kelemahan dan kekurangan. Tidak ada satu sistempun yang bisa sempurna seratus persen.
Ketika sistem barat mulai diperkenalkan, muncul penilaian bahwa sistem itu lebih baik dari pada sistem yang ada di pesantren. Jika bangsa Indonesia dan kaum muslimin lainnya ingin maju, maka harus mengikuti atau mengambil sistem barat dan meninggalkan pesantren, karena sistem pesantren dianggap tidak akan mampu bersaing dengan keunggulan sistem barat tersebut.
Pendapat ini ditolak keras oleh kaum pesantren; kiai, santri, para alumni pesantren, serta kaum muslimin yang selama ini “berkiblat” ke pesantren. Meskipun ada kelemahan akan tetapi pesantren mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh barat. Betapapun beratnya, bagaimanapun sulitnya, pesantren harus tetap dipertahankan. Segala kelemahan dalam pesantren harus diperbaiki, bukan dengan meninggalkannya. Meninggalkan pesantren sama artinya dengan mengingkari unsur positif dan jasa-jasa pesantren serta meninggalkan sekian juta kaum pesantren dalam keterbelakangan.
Perpecahan dan Perselisihan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib rahdiyallahu’anhu berkata:
“Dengan perpecahan tidak ada satu kebaikan dikaruniakan Allah SWT kepada seseorang baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang datang belakangan.”
Sebab, suatu kaum apabila hati-hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka mempermainkan, maka mereka tidak akan melihat satu tempatpun bagi kemaslahatan bersama. Mereka bukanlah sebuah bangsa yang bersatu, melainkan hanyalah individu-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan-keinginan mereka saling berselisih.
Saat ini banyak sekali bermunculan oknum-oknum yang mengecam pesantren, baik dari segi kultur, tradisi, ataupun ajarannya. Seperti kita ketahui bahwa banyak sekali kecaman yang diluncurkan pihak-pihak tak bertanggung jawab tersebut. Menarik sekali menukil penggalan kata dari Gus Dur mengenai bangsa Indonesia yang beragama Islam atau orang Islam yang numpang tinggal di Indonesia.
Tepat sekali jika kita mengingat kata-kata dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib berikut ini:
“Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan. Dan sebaliknya, kebathilan dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan.”
Dulu, ada anggapan yang cukup miris untuk pesantren dimana orang-orang menganggap bahwa pesantren merupakan tempat “buangan” bagi anak-anak yang “berpenyakit” baik secara moral ataupun psikis. Para orang tua yang sudah kewalahan menghadapi anak-anak mereka, memilih untuk mengirim anaknya ke pesantren dengan alasan untuk memperbaiki akhlaknya. Memang benar bahwa pesantren adalah pusatnya belajar agama sebagai dasar kehidupan seseorang, tetapi bukan berarti para orang tua dapat mengalihkan tanggung jawab mereka kepada pesantren. Ada juga orang tua yang mengirim anaknya ke pesantren karena anak tersebut sudah tidak diterima di sekolah-sekolah formal manapun. Seolah-olah pesantren adalah tempat tujuan terakhir untuk menempuh pendidikan setelah tidak ada sekolah formal yang bisa dimasuki.
Padahal pada hakikatnya seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa pesantren merupakan lembaga untuk mendidik kaum muslimin terutama kader-kader penerus dan penyiar Islam. Artinya, semua hal yang diajarkan di pesantren merupakan prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan bekal dalam menjalani kehidupan dan menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Dalam sejarahnya, pesantren benar-benar menjadi kawah candradimuka bagi terciptanya kader potensial penyebar agama Islam di tanah air. Mungkin pesantren mengadopsi tradisi pendidikan pra Islam “begawan” dan “cantrik” yang menjadikan para kiai dan santri berbaur dalam sistem pendidikan yang ada. Inilah yang disebut pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Tuntutan zaman yang sedemikian kompleks, juga menuntut pesantren untuk merespons “iring-iringan” perkembangan zaman yang ada. Tuntutan para santri yang menginginkan jenjang pendidikan formal juga dipenuhi. Karenanya, banyak sekali bermunculan pesantren-pesantren yang juga memiliki lembaga pendidikan formal, termasuk beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang banyak dijumpai di sekolah-sekolah formal seperti, taekwondo, karate, marching band, dan lain-lain. Dengan demikian, pada perkembangan selanjutnya pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga menjadi lembaga perjuangan. Dimana semua urusan umat difikirkan, dianalisa, dan dirancang serta dikomando oleh kiai pengasuh pesantren.
Lebih dari itu, pesantren juga berperan besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat, dengan memberikan pelayanan kepada umat dalam berbagai kebutuhan hidupnya, baik di bidang jasmani maupun rohani, begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan urusan material dan spiritual. Sampai pada akhirnya pesantren dapat disebut sebagai lembaga pelayanan masyarakat. Maka kalau sampai ada pesantren yang tidak melayani masyarakat, atau bahkan minta dilayani, maka ia telah mengingkari tugasnya.
Tantangan pesantren
Dalam perkembangannya, dengan mengemban tiga fungsi tersebut (lembaga pendidikan, lembaga perjuangan, dan lembaga pelayanan masyarakat), selama lebih dari seratus tahun pesantren telah menjadi “kiblat masyarakat Islam di Indonesia”. Tentunya pesantren juga tidak luput dari kelemahan dan kekurangan. Tidak ada satu sistempun yang bisa sempurna seratus persen.
Ketika sistem barat mulai diperkenalkan, muncul penilaian bahwa sistem itu lebih baik dari pada sistem yang ada di pesantren. Jika bangsa Indonesia dan kaum muslimin lainnya ingin maju, maka harus mengikuti atau mengambil sistem barat dan meninggalkan pesantren, karena sistem pesantren dianggap tidak akan mampu bersaing dengan keunggulan sistem barat tersebut.
Pendapat ini ditolak keras oleh kaum pesantren; kiai, santri, para alumni pesantren, serta kaum muslimin yang selama ini “berkiblat” ke pesantren. Meskipun ada kelemahan akan tetapi pesantren mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh barat. Betapapun beratnya, bagaimanapun sulitnya, pesantren harus tetap dipertahankan. Segala kelemahan dalam pesantren harus diperbaiki, bukan dengan meninggalkannya. Meninggalkan pesantren sama artinya dengan mengingkari unsur positif dan jasa-jasa pesantren serta meninggalkan sekian juta kaum pesantren dalam keterbelakangan.
Perpecahan dan Perselisihan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib rahdiyallahu’anhu berkata:
“Dengan perpecahan tidak ada satu kebaikan dikaruniakan Allah SWT kepada seseorang baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang datang belakangan.”
Sebab, suatu kaum apabila hati-hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka mempermainkan, maka mereka tidak akan melihat satu tempatpun bagi kemaslahatan bersama. Mereka bukanlah sebuah bangsa yang bersatu, melainkan hanyalah individu-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan-keinginan mereka saling berselisih.
Saat ini banyak sekali bermunculan oknum-oknum yang mengecam pesantren, baik dari segi kultur, tradisi, ataupun ajarannya. Seperti kita ketahui bahwa banyak sekali kecaman yang diluncurkan pihak-pihak tak bertanggung jawab tersebut. Menarik sekali menukil penggalan kata dari Gus Dur mengenai bangsa Indonesia yang beragama Islam atau orang Islam yang numpang tinggal di Indonesia.
Tepat sekali jika kita mengingat kata-kata dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib berikut ini:
“Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan. Dan sebaliknya, kebathilan dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan.”
Oleh