Oleh : Adam Rouf Hidayat
Asal-usul segala maksiat dan kelalaian seorang hamba adalah karena memiliki sikap puas terhadap dirinya sendiri, tunduk pada hawa nafsunya. Sementara asal-usul ketaatan dan kewaspadaan diri adalah karena seseorang mampu bersikap kritis pada dirinya sendiri, tak tunduk pada “comfort zone”, wilayah aman.
Pada bagian ini kita akan bergerak lebih jauh dan membicarakan mengenai pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh pergaulan sosial dan persahabatan. Menurut Syekh Ibn Athaillah, bersahabat dengan orang yang mampu bersikap kritis pada dirinya sendiri, tak merasa sombong dengan prestasi-prestasinya, tak pongah dengan pencapaiannya, tak merasa nyaman dengan apa yang sudah diraihnya, lebih baik daripada bersahabat dengan orang pintar tetapi pongah, puas diri, jumawa, dan tak mampu melihat kekurangan-kekurangan pada dirinya.
Sebab, persahabatan bisa menolong kita melakukan hal-hal positif terhadap diri kita sendiri. Lingkungan persahabatan bekerja sebagai semacam ruang pengkondisian, ruang yang menyediakan situasi yang kondusif bagi kita untuk mengerjakan hal-hal tertentu. Sebab sahabat-sahabat yang baik bisa memberikan dukungan moral kepada kita untuk berbuat baik pula. Sebaliknya, lingkungan persahabatan yang buruk dan tak kondusif, membuat seseorang terkondisikan untuk melakukan hal-hal buruk.
Jika kita bersahabat dengan orang yang dari segi ukuran akademi bukanlah orang yang pintar, tetapi ia memiliki sikap yang baik, yaitu mampu melakukan analisa diri, mampu menelaah kekurangan dan aib pada dirinya, persahabatan semacam itu jauh lebih baik ketimbang persahabatan yang kita pupuk dengan orang yang pintar secara akademis tetapi sombong dan jumawa.
Orang yang jumawa dan sombong biasanya cenderung (meminjam istilah Syekh Ibn Athaillah) “yardla ‘an nafsihi”, puas dengan dirinya sendiri, tunduk pada nafsunya. Orang yang memiliki sikap puas diri biasanya mengalami kesulitan untuk melihat aib dan kekurangan pada dirinya. Bagaimana seseorang bisa melihat kekurangan dalam dirinya jika telah merasa puas dengan apa yang telah ia perbuat?
Orang yang puas diri biasanya juga susah tumbuh dan berkembang. Sebab, seseorang mampu melakukan perbaikan atas dirinya, dan dengan begitu mengalami perkembangan dan kemajuan, adalah disebabkan oleh kerana ia tidak puas diri, mampu melakukan “self-criticism”. Sementara orang yang tak mampu melihat kekurangan dirinya, bagaimana ia melakukan perbaikan diri, dan meraih kemajuan?
Persahabatan dengan orang-orang yang bodoh tetapi punya sikap positif untuk tak puas diri, jauh lebih baik. Sebab dengan persahabatan itu, kemungkinan kita untuk mengalami kemajuan dan perkembangan diri jauh lebih besar.
Ini sama dengan keadaan berikut ini: orang yang kurang pintar secara intelijensi, tetapi rajin dan tekun, jauh lebih memiliki kemungkinan sukses ketimbang seorang yang jenius tetapi malas dan tak mau bekerja keras. Kejeniusan seseorang seringkali sia-sia karena yang bersangkutan tak memiliki sikap positif dalam hidup, yakni ketekunan, konsistensi, dan dedikasi dalam pekerjaan.
Berkata Syekh Ibn Ajibah, penulis komentar atas Kitab Hikam, kebodohan yang membuat seseorang justru ingin dekat dengan Tuhan lebih baik daripada kepintaran yang membuat seseorang jauh dari pada-Nya.
Kenapa kepintaran dan kecerdasan bisa membuat seseorang jauh dari Tuhan? Sebab kecerdasan pada seseorang kadang-kadang bisa menimbulkan sikap-sikap negatif, kotor dan buruk pada orang itu seperti kecongkakan, kesombongan, dan kepongahan. Sikap-sikap semacam ini justru akan membuat seseorang jauh dari Kebenaran.
Sementara, kondisi kebodohan malah justru bisa membuat seseorang rendah hati, bersikap positif, mau belajar terus-menerus, siap mengoreksi diri, mau melakukan “self-reformation” atau perbaikan diri terus menerus.
Orang-orang bijak berkata: Asyadd al-nas hijaban anil-Lahi al-‘ulama’, tsumma al-‘ubbad, tsumma al-zuhhad. Artinya: Orang-orang yang paling jauh dan terhijab/terhalang dari Tuhan adalah orang-orang yang ‘alim, lalu orang-orang yang rajin beribadah, dan lalu orang-orang yang zahid atau menjauhkan diri dari dunia.
Ini semua bukan berarti bahwa menjadi orang ‘alim, ‘abid, dan zahid adalah jelek. Bukan sama sekali. Yang dimaksudkan dengan kata-kata bijak ini ialah bahwa keunggulan-keunggulan tertentu pada seserang, seperti keunggulan intelektual, rajin ibadah atau sikap zuhud, bisa menjerumuskan seseorang pada sikap puas diri, sombong, dan merasa paling tinggi daripada orang-orang lain. Sikap-sikap semacam ini pada dirinya sudah merupakan penyakit kejiwaan yang berbahaya.
Apa yang bisa kita pelajari di sini ialah jangan sampai kita jumawa dengan keistimewaan yang ada pada kita. Teruslah menyadari bahwa sesempurna-sempurnanya manusia, tetaplah ada kekurangan pada dirinya sendiri. Kemampuan melihat kekurangan inilah yang menjadi sumber kemajuan dan kebahagiaan seseorang dalam hidup.